Hukum  

Kuasa Hukum Ipda Aris Candra Nilai Penetapan Tersangka Direkayasa dalam Kasus Kematian Brigadir Nurhadi

KUASA HUKUM Terdakwa Ipda Aris: I Gusti Lanang Bratasuta. (ist)

MATARAM (NTBNOW.CO)— Kuasa hukum Ipda Aris Candra Widianto, I Gusti Lanang Bratasuta, kembali mempertanyakan dasar penetapan kliennya sebagai tersangka dalam kasus kematian Brigadir Muhammad Nurhadi. Pihaknya menilai proses penyidikan yang dilakukan aparat kepolisian sarat kejanggalan dan berpotensi melanggar hukum.

Gusti Lanang menjelaskan, kliennya ditetapkan sebagai tersangka, ditangkap, dan ditahan dengan sangkaan Pasal 359 KUHP terkait kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia. Namun sejak awal, pihak kuasa hukum meragukan kecukupan alat bukti yang digunakan penyidik.

“Penetapan tersangka wajib didasarkan minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 KUHAP serta disertai pemeriksaan calon tersangka, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Ketentuan ini untuk mencegah pelanggaran HAM,” ujar Gusti Lanang, Senin (15/12).

Ia juga menyoroti pernyataan Dirreskrimum Polda NTB Kombes Pol Syarif Hidayat yang sempat mempublikasikan hasil tes poligraf para tersangka. Di sisi lain, hasil pemeriksaan ahli farmakologi terhadap korban dan para tersangka justru tidak pernah disampaikan secara terbuka kepada publik.

Padahal, berdasarkan hasil uji laboratorium, Ipda Aris dinyatakan negatif atau tidak terbukti mengonsumsi psikotropika maupun zat kimia lainnya. Fakta tersebut, menurut kuasa hukum, seharusnya menjadi informasi penting yang diketahui masyarakat.

Kejanggalan lain yang dipersoalkan adalah hilangnya Pasal 359 KUHP dalam berkas perkara yang dilimpahkan ke pengadilan. Pasal yang sebelumnya menjadi dasar penangkapan dan penahanan itu justru tidak lagi tercantum dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“Ini mengindikasikan adanya rekayasa dalam proses penyidikan. Secara yuridis, kondisi ini berpotensi melanggar kode etik dan hak asasi manusia klien kami,” tegasnya.

Dalam persidangan, keterangan para saksi fakta disebut semakin melemahkan dakwaan JPU. Sejumlah saksi, termasuk pegawai hotel dan tim medis yang pertama kali menangani korban, mengaku tidak melihat adanya luka, memar, atau benjolan di wajah Brigadir Nurhadi. Mereka hanya menemukan cairan bercampur darah dari hidung serta luka robek di telapak kaki.

Fakta tersebut dinilai bertentangan dengan surat dakwaan JPU maupun hasil pemeriksaan di RS Bhayangkara yang menyebutkan adanya luka-luka di wajah korban.

Selain itu, para saksi juga menyatakan Ipda Aris tidak berada di tempat kejadian perkara (TKP) saat peristiwa terjadi. Saksi Rahma, Goval, dan Fernando mengungkapkan bahwa saat berada di Villa Tekek, mereka hanya melihat Misri dan Yogi. Sementara Ipda Aris diketahui berada di Hotel Natya, yang lokasinya terpisah dari vila.

Saksi lainnya, Dewa Wija selaku General Manager hotel, menegaskan bahwa tidak pernah ada larangan dari Ipda Aris maupun Yogi kepada pihak rumah sakit untuk menyampaikan informasi ke media atau melakukan dokumentasi medis.

Berdasarkan seluruh fakta persidangan tersebut, tim kuasa hukum menilai dakwaan terhadap Ipda Aris Candra semakin lemah dan tidak didukung alat bukti yang kuat.

“Kesaksian para saksi justru membantah uraian dakwaan JPU dan memperjelas bahwa klien kami tidak terlibat dalam peristiwa pidana yang dipersangkakan,” pungkas Gusti Lanang. (can)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *