JAKARTA, NTBNOW.CO- Anggota Kompolnas Mohammad Dawam mengatakan bahwa masalah terorisme adalah problem global, penyelesaiannya harus melibatkan semua pihak dengan cara yang efektif, tidak bisa parsial.
Mohammad Dawam menyampaikan hal itu dalam acara bedah buku ‘Terorisme dan Deradikalisasi di Indonesia’ yang digelar Fathan Center bekerja sama dengan Pergunu di Hotel Griphta Kudus, Sabtu (18/11/2023).
“Hal ini adalah problem kita semua dalam berbangsa,” kata Mohammad Dawam menukil buku yang ditulis As SDM Kapolri, Prof Dr Irjen Pol Dedi Prasetyo, MM.
Prof Dedi Prasetyo, MM menulis khusus buku itu berkolaborasi dengan hasil riset yang telah dilakukan Anggota Kompolnas Mohammad Dawam bersama tim.
Buku itu menggambarkan bagaimana implementasi ideologi Pancasila dapat diyakini menjadi solusi terbaik atas aktivitas radikalisme, ekstremisme yang mengarah pada tindak pidana terorisme di Indonesia, bahkan dunia.
Intinya konsep nilai Pancasila kini sangat dibutuhkan dunia untuk menyelesaikan problem mendasar ideologi terorisme yang telah menggejala di seluruh dunia.
Di Indonesia sejak dulu juga tak luput eksistensi sebagian kelompok organisasi teror tersebut yang disebabkan belum tuntasnya pemahaman konsep dalam memahami cara pandang agama dan dalam cara pandang bernegara.
Bahkan jauh hari Alghozali, pakar shufi, telah menjelaskan bahwa hubungan antara agama dan negara adalah hubungan terpadu, menyatu yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Oleh karena itu dalam menyikapi pemahaman ekstremisme baik dalam paham keagamaan maupun politik ekstrem yang mengarah pada pemecah belah bangsa itu, implementasi nilai Pancasila adalah solusi nyata dalam berbangsa dan bernegara.
“Sebab Pancasila tidak bertentangan sedikit pun dengan agama, Islam khususnya. Bahkan agama dan negara adalah dua hal yang justru saling melengkapi.
Diksi jihad dan teror yang sering dikumandangkan kalangan ektremisme harus dipahami secara tepat yakni setiap hal yang merusak tatanan berbangsa, memecah belah persatuan umat, mendelegitimasi pemerintahan yang sah, dan sejenisnya adalah teror. Intinya, merusak bangunan yang sudah baik.
Sedangkan jihad adalah membangun sistem berbangsa, bermasyarakat yang awalnya rusak menjadi tatanan lebih baik, lebih ideal dan lebih bermartabat.
Kolaborasi sinergitas antar aparat negara dengan semua unsur masyarakat dengan pendekatan penyelesaian semesta adalah langkah yang baik untuk meminimalisir gerakan dari akar-akar ekstremisme di Indonesia saat ini dengan pendekatan universal yang secara teknis bisa melibatkan unsur penyuluh agama, pesantren, dan pengurus masjid/nushalla di seluruh Indonesia.
Buku tersebut juga dibahas secara tuntas nan apik baik dari tinjauan sejarah, jaringan, data pelaku, sistem sel jaringan gerakannya, pendeteksian, sistem penegakan hukumnya secara tuntas dan gamblang.
Prof Dedi Prasetyo menjelaskan secara utuh dan komprehensif melalui video yang secara khusus dipersembahkan dalam forum bedah buku ini.
Tak luput, Habib Ali Assegaf dari Solo menyampaikan dengan pendekatan teologis konsep bernegara, juga pentingnya menjaga kebersatuan umat, pelayanan maksimal bagi penyelenggara negara terhadap rakyat, perang terhadap gerakan ekstremisme yang mengarah pada tindak pidana terorisme di Indonesia dengan pendekatan cinta dan kasih sayang untuk semuanya.
Sekretaris Fraksi PKB DPR RI, H Fathan, mengulas dari berbagai aspek teori perekonomian dikaitkan dengan sistem tata kelola negara yang idealnya diarahkan pada kesejahteraan bagi semua warga bangsa.
Sehingga tidak ada ruang sedikit pun kesenjangan kemiskinan yang tentu menjadi salah satu unsur stimulasi terjadinya gerakan terorisme itu sendiri.
Menurut keterangan pers yang diterima kantor pusat Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), bedah buku diikuti dengan seksama oleh ragam kelompok masyarakat, Ketua PC NU Kudus, para aktivis ormas, wartawan, ulama, para dai, tokoh masyarakat, dan para anggota Polri baik dari Polsek dan Polres di wilayah Kudus dan sekitarnya bahkan dilakukan juga secara online. (*)