Pemberitaan dan Hak Jawab, Menjaga Keseimbangan dalam Jurnalisme

DALAM sepekan terakhir, dua isu besar tengah menjadi sorotan publik. Pertama, prosesi pelantikan gubernur, bupati, dan wali kota beserta wakilnya yang digelar di Jakarta. Kedua, pemberitaan terkait dugaan kasus korupsi yang melibatkan dana NCC, LCC, dan DAK 2024.

Pemberitaan yang masif oleh media arus utama (mainstream) mengenai kasus ini telah mengguncang dinamika pemerintahan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Bahkan, Gubernur NTB Lalu Muhammad Iqbal dan Wakil Gubernur Umi Indah Damayanti Putri turut memberikan perhatian khusus. Keduanya diingatkan untuk tetap waspada dan berhati-hati agar roda pemerintahan yang mereka jalankan tetap bersih dari segala bentuk penyimpangan yang dapat menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat NTB.

Di sisi lain, pemberitaan media—baik media cetak, elektronik, maupun daring—ternyata juga menimbulkan keresahan bagi sejumlah pihak. Ada individu tertentu yang merasa bahwa pemberitaan tersebut mengganggu privasi mereka, terutama mereka yang memiliki posisi terhormat di daerah ini.

Namun, penting untuk dipahami bahwa wartawan dan jurnalis bekerja berdasarkan prinsip profesionalisme, integritas, dan kode etik jurnalistik. Setiap informasi yang dipublikasikan telah melewati proses verifikasi, konfirmasi, serta prinsip check and recheck untuk memastikan kredibilitas narasumber dan validitas data yang disajikan.

Jika dalam suatu pemberitaan terdapat kekeliruan atau kesalahan, pihak yang merasa dirugikan memiliki hak yang dilindungi oleh Undang-Undang Pers, yaitu Hak Jawab dan Hak Koreksi. Langkah yang dapat ditempuh meliputi:

1. Mengajukan Hak Jawab kepada media yang bersangkutan agar memberikan ruang klarifikasi secara proporsional.

2. Jika tidak mendapat respons yang memadai, pihak terkait dapat melapor kepada Dewan Pers dengan menyertakan bukti pemberitaan. Dewan Pers akan menganalisis apakah terdapat kesalahan prosedural dalam pemberitaan atau unsur pelanggaran hukum lainnya.

Apabila Dewan Pers menemukan adanya kesalahan dalam karya jurnalistik, media yang bersangkutan akan diminta untuk melakukan perbaikan, meminta maaf, serta memberikan ruang Hak Jawab kepada pihak yang merasa dirugikan.

Untuk menghindari praktik jurnalistik yang tidak bertanggung jawab, setiap wartawan dibekali dengan kartu pers atau identitas resmi yang dikeluarkan oleh perusahaan media maupun organisasi profesi seperti PWI, AJI, dan IJTI. Identitas ini menjadi bukti bahwa mereka bekerja secara profesional sesuai dengan standar jurnalistik yang berlaku.

Penting untuk selalu mengedepankan komunikasi yang baik antara media dan narasumber agar pemberitaan yang disajikan tetap akurat, berimbang, dan tidak merugikan pihak mana pun.

PWI misalnya sebagai organisasi profesi wartawan selalu menekankan pentingnya integritas, profesionalisme, dan kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik dalam setiap pemberitaan.

Dalam konteks pemberitaan yang dianggap merugikan atau tidak akurat, PWI mendorong pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk memanfaatkan mekanisme yang telah diatur dalam Undang-Undang Pers, seperti mengajukan Hak Jawab atau Hak Koreksi. Langkah ini memungkinkan klarifikasi atau koreksi terhadap informasi yang dianggap keliru, sehingga tercipta keseimbangan dan keadilan dalam penyampaian informasi kepada publik.

Selain itu, PWI juga mengingatkan bahwa wartawan harus selalu menjalankan tugasnya dengan mengedepankan prinsip verifikasi, konfirmasi, dan disiplin dalam memeriksa kebenaran informasi sebelum dipublikasikan. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap media dan memastikan bahwa informasi yang disampaikan benar-benar akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam kasus dugaan korupsi DAK pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB, misalnya, proses hukum masih berjalan dan penanganannya berada di bawah kewenangan aparat penegak hukum. Pemberitaan mengenai kasus ini hendaknya dilakukan secara berimbang, berdasarkan fakta, dan tidak mengandung unsur fitnah atau prasangka, sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme yang profesional.

Dengan demikian, baik media maupun narasumber diharapkan dapat menjalin komunikasi yang baik dan saling menghormati, guna menciptakan iklim pemberitaan yang sehat dan konstruktif di NTB. (**)

Ilustrasi foto: bing.com