Menyambut Kembalinya SJI

Oleh: Hendro Basuki*

BEGITU Ketua Umum PWI Pusat yang baru Hendry Ch Bangun bertekad mengaktifkan kembali Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI), kala itu saya pesimistik. Bener nih?

Lama sudah SJI tidak aktif. Sedangkan Uji Kompetensi Wartawan ( UKW) tetap dan terus berlangsung. Program mahkota duet Ketua Umum Margiono (alm) dan Sekjen Hendry Ch Bangun kala itu benar-benar membuat PWI semarak. “90 persen program PWI adalah pendidikan profesi dan UKW, 10 persen yang lainnya.” Pernyataan almarhum begitu populer. Bahkan sampai hari ini.

Kombinasi kepengurusan kala itu menurut saya ideal. Ketum menetapkan visi-misi, para ketua menerjemahkan ke dalam strategi, dan sekretaris jendral adalah operator organisasi. Dan, satu nama yang selalu bersemangat 1.000 persen adalah Bung Marah Sakti Siregar yang kala itu menjaga garda pendidikan. Baiklah itu peristiwa kemarin.

Setelah masuk kepengurusan Atal Sembiring Depari, SJI macet. Tentu saya tak berminat untuk mengevaluasi, kenapa itu terjadi. Ada banyak sebab.

Maka, ketika SJI dihidupkan kembali, saya termasuk salah satu warga PWI yang meskipun pesimistil, tetap menyambut dengan antusias.

Ada beberapa alasan antara lain;
Pertama, wartawan adalah profesi terbuka. Siapa saja, pendidikannya apa boleh menjadi wartawan. Ada yang berlatar belakang pendidikan sebagai sarjana arsitek, dokter, ekonomi, sosial politik, sastra budaya, akuntansi, sinematografi, dan lain-lain. Bahkan yang bukan sarjana pun boleh.

Fakta ini mengandung konsekuensi, para wartawan sebagaian besar learning by doing. Belajar sambil kerja, atau sebaliknya. Sebagian kecil saja mendapatkan pendidikan jurnalistik secara benar dan baik dari institusinya. Media besar tentu memiliki biaya untuk kebutuhan itu. Konsekuensi fakta ini, tidak meratanya kemampuan wartawan dalam menjalani profesi ini. Yang mau belajar ya hebat, sedangkan yang malas bahkan sampai pensiun pun hanya mampu membuat berita pendek. Itu pun compang camping.

Kedua, miskinnya pemahaman teori jurnalistik di kalangan wartawan. Dengan beragamannya latar belakang yang saya sebutkan di atas, maka wajar mereka tidak memiliki basis pengetahuan yang cukup di bidang yang dijalaninya. Mungkin saja mereka terampil secara teknik, tetapi jika ditanya mengapa sesuatu itu dirancang demikian, apa sebab dan bagaimananya, sebagian menjawab tidak tahu. Seolah-olah mereka ini hanyalah tukang, seperti tukang-tukang yang lain.

Ketiga, kesadaran wartawan untuk selalu merasa kurang, dan kemalasan meningkatkan kapasitas profesional juga rendah.

Keempat, setali tiga uang adalah perusahaan media tempat para wartawan bekerja. Relatif sedikitnya pendidikan internal di perusahaan media, maka wartawan mendapatkan ketrampilan teknis dari katanya, dan katanya. Kata senior di kantor dan luar kantor, katanya teman, dan seterusnya. Dan, uniknya sampai pensiun ada yang mengaku belum pernah mendapatkan pendidikan jurnalistik secara sungguh-sungguh dan benar.

Sebenarnya menarik jika ada penelitian yang serius tentang seberapa tinggi kualitas wartawan di Indonesia. Apalagi begitu banyak ditemukan fakta-fakta yang mengkhawatirkan tentang tingginya pengaduan kepada Dewan Pers.

Tingginya angka pengaduan itu berkorelasi dengan rendahnya kualitas wartawan. Dengan beberapa fakta yang penulis ungkap di atas, maka wajar saja itu terjadi.

*Tanggungjawab Siapa?*

Lalu siapa yang berani mengambil tanggungjawab permasalahan tersebut. Tentu salah satunya adalah organisasi profesi.

Dalam Tupoksi PWI ketika organisasi ini didirikan adalah terwujudnya kemerdekaan pers nasional yang profesional, bermartabat, dan beradab. Yang disebut profesional adalah mereka yang ahli sesuatu dalam bidangnya. Dan, pendidikan ahli yang spesifik seperti wartawan adalah tugas organisasi.

Mereka inilah yang tahu, mengerti, dan paham seluruh ihwal pekerjaan wartawan. Oleh sebab itu, tanggungjawabnya melekat dan semua anggotanya diikat oleh kode etik, dan peraturan serta hukum yang terkait.

Beban yang ditanggung organisasi profesi wartawan seperti PWI memang cukup berat. Oleh sebab itu, peran serta seluruh masyarakat, pemerintah, serta kalangan pers sendiri sangat diharapkan. Maka, kabar bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersedia membantu pelaksanaan SJI di beberapa kota tentu menggembirakan. Bukan saja bagi PWI tetapi juga organisasi pers yang lain, dan juga Dewan Pers.

Yang dibutuhkan sebenarnya adalah bagaimana PWI mampu meyakinkan para pihak untuk membantu terselenggaranya SJI ini.

*Pengalaman*

Sebagai yang diamanahi memimpin PWI Jawa Tengah (2009-2014) ketika itu, kami menghadap Gubernur Jawa Tengah Letjen TNI ( Purn) Bibit Waluyo.

Saat bertemu, kami mengatakan, “Pak SJI itu akan merancang wartawannya profesional. Jika mereka profesional yang menikmati masyarakat Jateng juga. Di samping itu, agar nulis berita tentang Bapak juga akurat.”
“Ya Mas, kami bantu. Butuhmu berapa? ” tanya beliau khas tentara.

Belum sempat saya menjawab, Pak Bibit meneruskan, ” ..Masalah teknis ke Pak Sekda ya!”.
Beres!

Dan rangkaian SJI pun bergulir beberapa kali. PWI Jateng paling awal menuntaskan SJI di tiga jenjang yakni Muda, Madya, dan Utama.

Disebabkan oleh panjangnya masa pendidikan, hampir satu bulan, biayanya menjadi sangat mahal.

Ketika kami menyelenggarakan SJI Utama, biayanya tembus Rp 250 juta.

Para pengajarnya sungguh meyakinkan, di mana para begawan wartawan Indonesia seperti Dahlan Iskan, Sabam Siagian, Atma Kusumah, Marah Sakti Siregar, Ashadi Siregar, dan juga Rektor Universitas Paramadina Jakarta Prof Dr Anis Baswedan menjadi pengajarnya.
Dengan rendah hati, Bung Margiono ketika membuka SJI Utama di Kantor PWI Jateng sampai mengatakan, ” jika memperhatikan para pengajar SJI Utama sedemikian hebatnya, saya merasa minder untuk ikut ambil bagian….”

Tentu apa yang dikatakan almarhum hanya candaan, karena semua orang pers paham tentang kualitas almarhum.
Kala itu, PWI Jawa Tengah (mungkin) satu-satunya PWI provinsi yang mampu menyelenggarakan SJI 8 kali yakni 4 kali Jenjang Muda, 3 kali Jenjang Madya, dan 1 kali Jenjang Utama serta meluluskan 160 lebih wartawan.

*Antusias*

Dengan memperhatikan tantangan bisnis media, dan kualitas wartawan di satu sisi, serta meningkatnya kualitas pendidikan masyarakat luas di sisi yang lain, maka peningkatan kualitas profesional wartawan menjadi keharusan.

Pengelola media harus mulai berhenti mengeluh dan saatnya mulai serius mamperhatikan kualitas para wartawan.
Mengeluh sampai kapan pun tidak mengubah keadaan. Tetapi, memperbaiki kualitas wartawan secara serius akan memperbaiki, bahkan mengubah penyajian media.

Masyarakat tetap membutuhkan produk jurnalisme sepanjang kualitas bisa dijaminkan. Terlalu naif meminta publik membayar produk jurnalistik yang berkualitas rendah.

Penulis sangat percaya bahwa produk yang dibuat dengan murah dan seadayanya tidak mungkin dihargai. Dan wajar harganya juga murah. Sebaliknya, produk berita berkualitas dan dibuat dengan serius dan berdarah-darah akan tetap dihargai.

Dan, SJI PWI perlu secara terus menyemai benih-benih wartawan profesional, berpengetahuan, dan beretika.
Bravo PWI!
( *Hendro Basuki* , wartawan anggota PWI)