JAKARTA, NTBNOW.CO– Silaturahmi Kebangsaan yang digagas DPD RI menghasilkan delapan rekomendasi kepada pemerintah. Silaturahmi Kebangsaan yang mengambil tema “Menakar Konsekuensi Kenegaraan Terhadap Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat” menghadirkan sejumlah tokoh bangsa.
Delapan rekomendasi tersebut yakni pertama, hasil silaturahmi kebangsaan ini merupakan forum kesepakatan antara DPD RI dengan berbagai Komponen Bangsa, Pengawal dan Pengaman NKRI, Pancasila dan UUD 1945 untuk ditindak lanjuti sesuai dengan fungsi kelembagaan masing-masing dalam rangka mengawal dan menjaga kedaulatan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Kedua, mengajak seluruh elemen bangsa untuk melakukan konsensus nasional, dengan cara kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 naskah asli, kembali kepada sistem kenegaraan yang telah dirumuskan oleh pendiri bangsa. Di mana bila perlu kita sempurnakan dan kita perkuat sisi lengahnya dari sistem asli Indonesia tersebut.
Ketiga, mengawal dan mengamankan kemurnian implementasi Pancasila, UUD NRI 1945 dan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Keempat, memberikan masukan kepada Pemerintah untuk tidak memberikan ruang bagi ideologi Komunisme, apalagi hadirnya kembali PKI dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.
Kelima, mendorong pemerintah untuk juga berlaku adil terhadap para Korban akibat tindakan yang dilakukan oleh Pemberontakan PKI sejak 1948 dan 1965 Bila diperlukan melakukan upaya hukum dalam rangka penyempurnaan Inpres No.2 Tahun 2023 yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.
Keenam, mendorong dan mendukung komponen bangsa khususnya TNI untuk dapat menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai alat Negara yang tunduk kepada Konstitusi dan UU dengan senantiasa menunjukan jati dirinya sebagai prajurit pejuang yang profesional.
Ketujuh, dalam proses pembahasan pelanggaran HAM berat hendaknya mengkaji kembali secara adil dan seimbang, baik dalam penentuan pelaku maupun korban kedua belah pihak, serta dalam penentuan pemulihan hak korban yang akan menerima santunan/kompensasi.
Terakhir, merekomendasikan kepada DPD RI untuk membentuk Panitia Khusus guna melakukan kajian dan telaah yang mendalam terhadap Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Pelaksanaan Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.
Dalam acara tersebut, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyampaikan opening speech sebelum dilanjutkan oleh Wakil Presiden ke-VI, Try Sutrisno sebagai Keynote Speaker. Sedangkan tiga narasumber yang dihadirkan adalah Nono Sampono (Wakil Ketua DPD RI), Agustadi Sasongko Purnomo (mantan KSAD) dan Prof Kaelan (Guru Besar Ilmu Filsafat UGM).
Dalam paparannya, Nono Sampono menyoroti 12 rekomendasi pelanggaran HAM Berat yang ditetapkan oleh TPP-HAM, utamanya terkait rekomendasi pertama yang berkaitan dengan pelanggaran HAM Berat yang terjadi pada tahun 1965/1966.
“Dari 12 pelanggaran HAM Berat yang disebutkan, saya ingin menyoroti nomor 1. Meski tak ditulis, tapi kita tahu maksudnya, itu kasus 1965/1966 atau G30S/PKI,” kata Nono dalam paparannya di Gedung Nusantara IV Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (23/5/2023).
Menurut Nono, untuk 11 kasus pelanggaran HAM lainnya ia tak mempermasalahkan. Namun jika dinyatakan telah terjadi pelanggaran HAM Berat yang dilakukan oleh negara dengan korban PKI pada tahun 1965/1966, tentu menjadi persoalan.
Kalau kita urai sejarah perjalanan PKI mulai didirikan pada tahun 1917, PKI telah tiga kali melakukan gerakan kudeta berdarah. “Pertama itu terjadi pada tahun 1926 lalu pemberontakan Madiun 1948 dan terakhir G30S/PKI tahun 1965/1966,” ujar Nono.
Menurut Nono, kuatnya PKI di Indonesia, utamanya usai menjadi pemenang keempat Pemilu 1955, yakni sejak diberlakukannya jargon Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) oleh Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
“Meski sudah dilarang melalui TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, namun jika ditanya apakah PKI masih ada saat ini, menurut saya masih ada,” tutur Nono.
Dikatakan Nono, komunisme wajah baru memiliki beberapa ciri yang harus diperhatikan dengan seksama. Di antaranya menempel pada kekuasaan, pandai membersihkan diri, menggunakan politik adu domba dan meminta kepada pihak lain meminta maaf dan mengganti rugi kepadanya. “Nah, ini yang terjadi sekarang. PKI telah bergerak mendorong pihak lain untuk meminta maaf dan memberikan kompensasi melalui Inpres ini,” kata Nono.
Mantan KSAD Agustadi Sasongko Purnomo dalam paparannya menjelaskan, Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tersebut multi tafsir. “Peristiwa pelanggaran HAM Berat terjadi pada rentang waktu 1945-2020. Korban itu siapa, apakah dari PKI atau Non PKI? Begitu juga dengan pelaku, apakah PKI atau Non PKI?” tanya Agustadi Sasongko.
Dikatakannya, dalam proses pembahasan pelanggaran HAM berat, Agustadi Sasongko menyarankan hendaknya mengkaji kembali secara adil dan seimbang, baik dalam penentuan pelaku maupun korban kedua belah pihak, serta dalam penentuan pemulihan hak korban yang akan menerima santunan atau kompensasi.
Ia juga menyarankan agar dalam proses pembahasan pelanggaran HAM berat hendaknya melibatkan personel yang profesional dalam bidangnya seperti hukum, sejarah, forensik, Saksi-saksi peristiwa dari kedua belah pihak dan para akademisi.
“Membentuk Tim Pemantau dan Pengawas Independen pelaksanaan rekomendasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, yang personelnya terdiri dari unsur pemerintah, TNI/Polri, masyarakat, akademisi dan Komnas HAM, guna memantau dan mengawasi tentang perencanaan, penentuan dan pelaksanaan penyerahan santunan/ kompensasi bagi korban dari kedua belah pihak,” ujarnya.
Sedangkan Guru Besar Ilmu Filsafat Prof Kaelan menambahkan bahwa kita harus meletakkan kembali Pancasila sebagai dasar negara dalam memilih pemimpin bangsa.
“Sesungguhnya Inpres ini luar biasa menyadari bagaimana situasi kebangsaan Indonesia. Satu hal dimensi yang harus kita lihat bahwa, nampaknya fokus penyelesaian pada kasus yang terjadi tahun 1965/1966,” ujarnya.
Menurut Prof Kaelan, sesungguhnya suatu peristiwa itu kausalitas. Oleh karenanya, dalam melihat masalah tersebut harus multidimensi. “Tidak hanya pada tahun 1965 saja. Kelemahan yang terjadi dalam Inpres itu ada pada titik pandang HAM,” ujar Prof Kaelan.
Prof Kaelan menjelaskan, yang dimaksud multidimensi semestinya harus dilihat dari berbagai aspek kausalitasnya. “PKI mempunyai tujuan mengkambinghitamkan Indonesia. 1926, 1948 dan 1966 adalah pemberontakan PKI. Mengapa negara mengakui para pahlawan yang salah dan PKI yang benar,” ujarnya.
Menurutnya, hal ini terjadi imbas bangsa ini tak lagi mengamalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi negara. Pun halnya dengan UUD 1945 yang telah empat kali mengalami amandemen pada tahun 1999-2002. Apakah negara ini berdasarkan Pancasila? Dari hasil penelitian saya, tidak. Saat ini pun bukan lagi UUD 1945, tapi UUD 2002,” tutur Prof Kaelan.
Anak Pahlawan Revolusi, Amelia Achmad Yani yang hadir pada kesempatan itu menyebut bahwa apa yang terjadi pada masa itu ada dua hal yang terjadi yakni peristiwa politik dan pelanggaran HAM Berat.
“Peristiwa politik terjadi antara ABRI dan PKI yang mendapat dukungan dari Bung Karno. Apa yang menimpa kami, di mana orangtua kami dibunuh di depan mata kami, merupakan pelanggaran HAM Berat,” kata dia.
Menurut dia, hingga kini ia belum bisa melupakan peristiwa tersebut. “PKI melakukan propaganda bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta,” kata Amelia.
Marsma (Purn) Bastari yang bertindak sebagai penanggap menegaskan bahwa TNI selalu setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. “TNI telah bersumpah. Kita setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Konsekuensinya, kalau ada yang mau mengubah hal itu, maka akan berhadapan dengan TNI,” tegas Bastari.
Terkait pelanggsran HAM Berat yang terjadi di masa lalu, Bastari menyarankan agar diselesaikan secara kultural dan sosial. “Itu adalah jalan penyelesaian non yudisial,” kata dia.
Hadir dalam Silaturahmi Kebangsaan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, Wakapolri Komjen (Pol) Gatot Edi Pramono, Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata, Wakil Jaksa Agung Sunarta, putri Pahlawan Revolusi, Amelia Achmad Yani, Marsma (Purn) Bastari, hadir juga Pimpinan DPD RI, Alat Kelengkapan serta Anggota DPD RI, Para Pejabat TNI dan Polri atau yang mewakili, para purnawirawan TNI-Polri, Para Pemerhati Kebangsaan dan Konstitusi, serta tamu undangan lainnya. (red)