JAKARTA (NTBNOW.CO) – Wanita Persatuan Umat Islam (Wanita PUI) menyatakan keberatan terhadap pengaturan dalam Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Kesehatan yang menyertakan “penyediaan alat kontrasepsi” sebagai bagian dari pelayanan kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah.
Ketua Umum Wanita PUI, Iroh Siti Zahroh, menegaskan bahwa alat kontrasepsi tidak dibutuhkan oleh anak usia sekolah dan remaja, serta berpotensi disalahgunakan untuk perilaku seks bebas.
Dalam pernyataannya pada Jumat (9/8/2024), Iroh mengungkapkan kekhawatirannya terhadap Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 28 Tahun 2024 yang baru saja disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 26 Juli 2024. PP ini mencakup 1171 pasal, salah satunya adalah Pasal 103 ayat (4) huruf (e) yang mengatur tentang upaya kesehatan sistem reproduksi bagi usia sekolah dan remaja, termasuk penyediaan alat kontrasepsi.
Menurut Iroh, frasa “penyediaan alat kontrasepsi” dalam pasal tersebut bisa ditafsirkan sebagai pemberian fasilitas kondom, yang dikenal masyarakat sebagai alat pengaman seks. Meskipun Kementerian Kesehatan telah menjelaskan bahwa usia sekolah dan remaja yang dimaksud adalah mereka yang siap menikah, penjelasan tersebut dianggap tidak memadai dan berpotensi disalahartikan sebagai penyediaan alat kontrasepsi bagi semua remaja, tanpa batasan spesifik.
Wanita PUI menilai pengaturan ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang melarang perkawinan bagi mereka yang berusia di bawah 19 tahun. Selain itu, Iroh menyoroti bahwa pengaturan tersebut bisa membuka celah untuk liberalisasi seks di kalangan remaja Indonesia, yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dianut masyarakat.
Pengaturan dalam PP ini juga dianggap bertentangan dengan Pancasila, khususnya Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, serta Pasal 28 B UUD 1945 yang memberikan hak kepada setiap warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Wanita PUI menegaskan bahwa penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja tidak relevan dan berpotensi merusak moralitas generasi muda.
Lebih lanjut, Iroh menyebutkan bahwa pengaturan tersebut juga bertentangan dengan tujuan perlindungan anak dari kejahatan seksual, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Penyediaan alat kontrasepsi bisa dianggap sebagai “legitimasi” perilaku seks di kalangan remaja, yang berpotensi mereduksi upaya perlindungan anak dari kejahatan seksual.
Wanita PUI mendesak pemerintah untuk segera meninjau kembali dan merevisi pengaturan terkait penyediaan alat kontrasepsi pada Pasal 103 ayat (4) huruf (e) PP No. 28 Tahun 2024. Revisi ini dinilai penting untuk menjaga nilai-nilai moral dan melindungi anak-anak dari potensi kejahatan seksual yang bisa timbul akibat pengaturan tersebut. (**)