Di sebuah desa terpencil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, hiduplah seorang ulama bernama Kiai Mahfud (nama rekaan). Di usia senjanya, tubuhnya semakin renta, rambutnya memutih, namun semangatnya tetap membara. Dia dikenal bukan hanya sebagai sosok yang bijaksana, tetapi juga sebagai guru yang penuh kasih sayang. Dengan penuh kesederhanaan, ia mendirikan sebuah surau kecil yang menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul bagi masyarakat sekitar.
Setiap hari, Kiai Mahfud mengajar anak-anak desa membaca Al-Qur’an, mengajarkan mereka adab, serta berbagi kisah-kisah penuh hikmah. Senyum di wajah anak-anak yang belajar selalu menjadi penawar lelahnya. Namun, di balik senyum itu, tersimpan kesedihan yang tak pernah ia bagi kepada siapa pun.
Tahun demi tahun berlalu, banyak muridnya yang telah dewasa dan meninggalkan desa untuk mencari rezeki di kota. Sebagian besar dari mereka jarang kembali. Kiai Mahfud mengerti, kehidupan memang harus berjalan, tetapi jauh di lubuk hatinya, ia merindukan kehadiran mereka. Ia merasa sepi, namun tak pernah mengeluh.
Suatu malam, ketika bulan bersinar terang, Kiai Mahfud terbangun dari tidur. Matanya tertuju pada sehelai foto yang tergantung di dinding—foto murid-murid pertamanya yang kini telah jauh darinya. Ia duduk termenung, mengingat hari-hari ketika suara anak-anak itu memenuhi surau dengan lantunan ayat-ayat suci.
Kesedihannya kian dalam, karena tidak seorang pun dari murid-muridnya datang menengoknya. Sejak penyakit paru-parunya semakin parah, ia hanya bisa mengajar sebentar dan lebih sering beristirahat. Tak jarang ia menangis dalam sujud malamnya, bukan karena sakitnya, tetapi karena kerinduannya pada murid-murid yang telah ia anggap seperti anak-anaknya sendiri.
Pada suatu siang yang cerah, seorang lelaki muda datang ke surau itu. Wajahnya tak asing bagi Kiai Mahfud. Lelaki itu adalah Fadli, salah satu murid yang dulu paling ia sayangi. Dengan raut wajah yang penuh penyesalan, Fadli meraih tangan Kiai Mahfud dan menciumnya dengan takzim.
“Kiai, maafkan saya… sudah lama saya tidak kembali,” ucap Fadli dengan suara bergetar.
Air mata Kiai Mahfud menetes, tetapi senyumnya tetap tulus. “Nak, Kiai selalu mendoakan kalian, di mana pun kalian berada,” jawabnya pelan.
Sejak hari itu, Fadli rutin datang menemani Kiai Mahfud, membantunya mengajar anak-anak kecil, dan mendengarkan cerita-cerita bijak yang selalu penuh pelajaran hidup. Namun, waktu Kiai Mahfud ternyata tidak lama lagi. Beberapa bulan kemudian, ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, Kiai Mahfud menghembuskan nafas terakhirnya di atas sajadahnya, dalam sujud yang terakhir.
Berita kepergiannya menggemparkan desa. Satu per satu murid-muridnya datang, mereka yang dulu meninggalkan desa untuk mencari kehidupan di tempat lain. Mereka berkumpul di surau yang telah menjadi saksi cinta dan pengorbanan Kiai Mahfud.
Malam itu, surau kecil itu penuh dengan lantunan doa dari murid-muridnya. Di setiap bibir mereka, ada ucapan terima kasih dan permohonan ampun, merangkai sebuah doa yang panjang. Cahaya lilin yang bergetar lembut mengiringi kepergian seorang ulama, yang telah memberikan seluruh hidupnya demi membimbing mereka ke jalan kebenaran.
Kiai Mahfud mungkin telah pergi, tetapi cinta dan ilmunya akan terus hidup dalam hati murid-muridnya. Di batas senja, sebuah cahaya menyinari desa itu—cahaya cinta seorang ulama yang akan selalu ada di dalam sanubari mereka, sebagai pelita abadi. (ai)
Ilustrasi gambar: bing.com