Memahami UU Pers, Kode Etik Jurnalistik dan Peraturan Dewan Pers (3) 

Tidak semua saluran komunikasi termasuk katagori pers. ”Saluran komunikasi” hanyalah sarana untuk menyampaikan komunikasi. Untuk dapat dikategorikan sebagai pers, proses pengerjaan dan isinya harus memenuhi kaedah-kaedah jurnalistik, termasuk harus menaati Kode Etik Jurnalistik (selanjutnya akan sering disingkat dengan KEJ). Lalu bagaimana media elektronik?

—————————

6. Bagaimana pengaturan pers untuk pers di televisi dan radio?

Sesuai dengan pengertian dalam UU tentang Pers, semua kegiatan jurnalistik tunduk dan mengikuti UU No. 40 Tahun  999 tentang Pers, baik media cetak, elektronik dan saluran lainnya. Dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran juga diakui wartawan yang melakukan kegiatan jurnalistik berada di bawah payung Kode Etik Jurnalistik. Pasal 42 UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menegaskan, “Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundangan yang berlaku.”

Dalam hal ini Kode Etik Jurnalistik yang berlaku adalah yang sesuai dengan penjelasan pasal 7 ayat 2 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.” Dalam rumusan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 ini dipakai rumusan “peraturan perundangan yang berlaku” dan bukan “undang-undang ini.” Hal ini bukan tanpa maksud, yakni yang dimaksud dengan “peraturan perundangan yang berlaku” untuk pers tidak lain dan tidak bukan adalah termasuk UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) juga dipertegas bahwa wartawan elektronik yang melakukan kegiatan jurnalistik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, tegasnya, sepanjang menyangkut kegiatan jurnalistik, baik untuk televisi dan radio, termasuk media lainnya, mengikuti UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

7. Adakah dampak dari perbedaan pengaturan yang bersifat jurnalistik dan yang bukan dalam media elektronik?

Antara siaran yang bersifat jurnalistik dan siaran bukan jurnalistik memiliki perbedaan hukum dan filosofis yang mendasar.

Penjelasan pasal 4 ayat 2 UU Pers menyebut,” ..Siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan undang-undang yang berlaku.” Ini berarti, suatu siaran yang tidak termasuk dalam kegiatan jurnalistik sepenuhnya berlaku UU

Penyiaran No. 32 Tahun 2002. Dengan kata lain, terhadap siaran yang bukan karya jurnalistik dapat dikenakan sensor, pembatasan isi, dapat memerlukan izin, isinya dapat ditegur dan diadukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan lembaga penyiarannya juga dapat dicabut. Ini jelas sangat berbeda dengan siaran yang bersifat jurnalistik yang justru tidak boleh dikenakan penyensoran, pembredelan dan pelarangan siaran oleh pihak manapun. Oleh sebab itu, sangat perlu membedakan siaran radio atau televisi yang bersifat jurnalistik dan yang bukan bersifat jurnalistik karena membawa dampak hukum yang sangat luas. (*)