Opini  

Ketika Fiskal Bertemu Moneter: Menimbang Ulang Burden Sharing di Era Prabowo

Djaka Suryadi. (Foto: dokumen pribadi)

Oleh: Djaka Suryadi, PhD, Bankir Syariah*

PADA Oktober 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak melanjutkan skema burden sharing antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI). Ia menilai skema tersebut berpotensi mengaburkan batas antara kebijakan fiskal dan moneter, serta mengancam independensi BI sebagai bank sentral.

Padahal, burden sharing sempat diterapkan untuk mendukung program Perumahan Rakyat dan Kopdes Merah Putih melalui pembagian bunga utang SBN.

Problem Statement

Burden sharing yang dilakukan di luar masa krisis menimbulkan risiko moral hazard, inflasi, dan pelemahan nilai tukar.

Dalam konteks ekonomi syariah, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang keadilan distribusi beban fiskal dan tanggung jawab institusi moneter.

Novelty

Analisis ini memperkenalkan pendekatan burden sharing berbasis ekonomi moneter syariah, dengan landasan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta tafsir dari Masyaikh Al-Azhar. Tujuannya adalah merumuskan model burden sharing yang adil, transparan, dan sesuai prinsip syariah.

Landasan Teori dan Definisi

Burden sharing adalah pembagian tanggung jawab fiskal antara pemerintah dan bank sentral dalam pembiayaan utang atau program strategis. Dalam ekonomi konvensional, burden sharing dapat membantu stabilisasi fiskal saat krisis. Namun, dalam ekonomi syariah, prinsip keadilan (‘adl), amanah, dan larangan riba menjadi landasan utama.

Dalil Al-Qur’an dan Sunnah

Larangan Riba

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾

(QS. Ali Imran: 130)

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”

Tafsir Al-Azhar menyebutkan bahwa riba adalah bentuk eksploitasi ekonomi yang merusak keseimbangan sosial. Dalam konteks burden sharing, pembagian bunga utang harus dihindari jika mengandung unsur riba.

Prinsip Keadilan

﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ﴾

(QS. An-Nahl: 90)

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.”

Masyaikh Al-Azhar menafsirkan ayat ini sebagai panggilan untuk menegakkan keadilan dalam semua aspek kehidupan, termasuk kebijakan fiskal dan moneter.

Amanah dalam Pengelolaan Keuangan

﴿إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ﴾

(QS. Al-Qasas: 26)

“Sesungguhnya orang terbaik yang kamu ambil untuk bekerja adalah yang kuat dan amanah.”

Dalam konteks burden sharing, pemerintah dan BI harus bertindak amanah dalam mengelola dana publik dan menjaga stabilitas ekonomi.

Tujuan dan Strategi

Tujuan: Menjaga stabilitas makroekonomi, mendukung program sosial strategis, dan menghindari pembengkakan utang jangka panjang.

Strategi:

Menetapkan batas waktu dan kondisi krisis sebagai syarat burden sharing.

Menyusun indikator makro sebagai pemicu otomatis (automatic stabilizer).

Memastikan transparansi melalui audit publik dan pelaporan berkala.

Target

Pemerintah: Mendapat ruang fiskal untuk program prioritas.

BI: Tetap menjaga independensi dan kredibilitas kebijakan moneter.

Masyarakat: Mendapat manfaat dari program sosial tanpa risiko inflasi tinggi.

Dampak

Positif:

Menurunkan biaya utang pemerintah.

Meningkatkan sinergi fiskal-moneter saat krisis.

Negatif:

Risiko moral hazard jika digunakan di luar krisis.

Potensi inflasi dan pelemahan nilai tukar jika BI terlalu banyak membeli SBN.

Mitigasi Risiko dan Solusi Terbaik

Mitigasi:

Menetapkan fiscal rule dan monetary firewall.

Menggunakan instrumen pasar seperti repo atau reverse repo untuk menjaga likuiditas.

Solusi:

Membangun Burden Sharing Framework berbasis krisis dengan indikator seperti penurunan PDB, lonjakan pengangguran, atau tekanan pasar keuangan.

Melibatkan lembaga independen seperti BPK atau OJK untuk evaluasi berkala.

Menghindari skema bunga yang mengandung unsur riba, dan mengganti dengan skema bagi hasil atau hibah berbasis maqashid syariah.

Pembahasan Problem Statement

Purbaya menolak burden sharing karena khawatir akan kaburnya batas fiskal-moneter. Pendekatan syariah mendukung kekhawatiran tersebut, dengan tambahan bahwa skema bunga utang berpotensi melanggar prinsip syariah. Solusinya adalah burden sharing berbasis krisis, dengan skema non-riba dan pengawasan ketat.

Hasil Pembahasan

Burden sharing dapat menjadi alat strategis jika dirancang dengan prinsip kehati-hatian dan etika fiskal syariah.

Pendekatan ini menghindari politisasi kebijakan moneter dan menjaga stabilitas jangka panjang.

Penutup

Kesimpulan

Burden sharing bukanlah solusi permanen, melainkan instrumen darurat yang harus dikendalikan dengan ketat. Pendekatan ekonomi syariah menekankan keadilan, amanah, dan larangan riba sebagai landasan utama. Tafsir Al-Azhar memperkuat bahwa kebijakan fiskal dan moneter harus dijalankan dengan prinsip maslahah dan hikmah.

Rekomendasi

Pemerintah dan BI menyusun Burden Sharing Crisis Protocol berbasis maqashid syariah.

Burden sharing hanya berlaku saat krisis dan harus dievaluasi oleh lembaga independen.

Skema bunga diganti dengan skema bagi hasil atau hibah untuk menghindari riba.

Dengan pendekatan ini, burden sharing dapat menjadi alat yang efektif dan aman dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia secara syariah.

+++

* Tentang Penulis:

Djaka Suryadi, PhD, pemerhati hukum dan keuangan syariah. Meraih gelar Doktor di bidang Keuangan Islam dari salah satu universitas di Malaysia.

Di Indonesia, ia menjadi bankir syariah dan pernah bekerja di sebuah bank swasta selama 28 tahun, serta menjadi dosen hukum Islam dan keuangan Islam selama 18 tahun di berbagai universitas.

Komunikasi dengan penulis bisa melalui email: [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *