Oleh: Djaka Suryadi,PhD, Bankir Syariah*
ANALISIS makro ekonomi syariah dalam jangka pendek mengenai mengejar pertumbuhan model Purbayanomic versus pemerataan distribusi menempatkan kedua elemen tersebut dalam kerangka keseimbangan yang harus dijiwai nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan (kebaikan bersama).
Prinsip Dasar Ekonomi Syariah
Berbeda dengan pandangan konvensional yang seringkali mengutamakan pertumbuhan ekonomi (PDB) sebagai indikator utama kemajuan, ekonomi syariah menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan keadilan dalam distribusi.
Dalam perspektif Islam, kekayaan adalah amanah (Tauhid), dan penumpukan harta di segelintir orang dikecam (QS. Al-Hasyr: 7).
Dalam jangka pendek, kebijakan ekonomi syariah berupaya mencapai:
– Pertumbuhan ekonomi yang Etis: Pertumbuhan ekonomi harus didorong, namun harus bebas dari unsur yang dilarang seperti Riba (bunga/eksploitasi) dan Maysir (spekulasi/perjudian). Pertumbuhan yang terjadi melalui skema bagi hasil (seperti mudharabah atau musyarakah) dinilai lebih adil karena risiko dan keuntungan dibagi bersama.
– Pemerataan yang berkeadilan sebagai Fondasi: Pemerataan distribusi (keadilan distributif) bukan hanya tujuan akhir, tetapi juga prasyarat agar pertumbuhan berkelanjutan. Instrumen seperti Zakat, Infaq, dan Sedekah berfungsi sebagai mekanisme shock absorber jangka pendek untuk menanggulangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan langsung.
Analisis Dilema Pertumbuhan vs. Pemerataan Jangka Pendek Secara empiris dan teoritis, ada potensi ketegangan (trade-off) dalam jangka pendek:
– Fokus Pertumbuhan: Kebijakan yang terlalu agresif untuk mendorong investasi dan produksi (pertumbuhan) dalam waktu singkat (misalnya, insentif besar-besaran) dapat secara tidak sengaja memperlebar jurang pendapatan jika keuntungan didominasi oleh pemilik modal besar. Ini berpotensi melanggar prinsip keadilan distribusi. – Fokus Pemerataan: Kebijakan yang sangat menekankan redistribusi cepat dalam jangka pendek, misalnya melalui intervensi harga atau pengalihan aset secara drastis, dapat mengerem insentif untuk berproduksi dan berinvestasi, sehingga menghambat laju pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja dan kekayaan baru.
– Solusi Syariah: Jalan Tengah (Iqtishad). Ekonomi syariah menganjurkan jalan tengah (iqtishad) untuk mengatasi dilema ini. Dalam konteks jangka pendek: – Prioritas Kebutuhan Pokok: Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan primer masyarakat. Hal ini bisa dicapai melalui kebijakan fiskal yang efektif menggunakan dana ZISWAF (Zakat, Infaq, Sedekah, Wakaf) untuk membantu kelompok yang paling rentan, sambil tetap memberikan kepastian regulasi bagi pelaku usaha agar pertumbuhan tetap berjalan.
– Penguatan Peran Negara (Siyasah Maliyah): Pemerintah berperan aktif sebagai fasilitator keadilan. Kebijakan moneter dan fiskal syariah harus sinergis: membiarkan pasar bekerja dalam koridor halal, namun mengintervensi secara etis untuk mencegah penumpukan kekayaan dan mendistribusikan hak orang miskin dalam harta orang kaya.
Kesimpulan:
Dalam jangka pendek, ekonomi syariah tidak memilih salah satu secara absolut, melainkan mencari titik optimal di mana pertumbuhan ekonomi yang berbasis keadilan (inclusive growth) dapat dicapai. Keadilan distribusi melalui instrumen sosial-ekonomi wajib dijalankan bersamaan dengan dorongan pertumbuhan yang bebas eksploitasi. Jika pertumbuhan terjadi tanpa pemerataan, ia dianggap tidak sesuai dengan tujuan akhir falah (kesejahteraan hakiki).
+++
* Tentang Penulis:
Djaka Suryadi, PhD
Pemerhati hukum dan keuangan syariah. Meraih gelar doktor di bidang Keuangan Islam dari salah satu universitas di Malaysia.
Di Indonesia, ia menjadi bankir syariah dan pernah bekerja di sebuah bank swasta selama 28 tahun, serta mengajar hukum dan keuangan Islam selama 18 tahun di berbagai universitas.












