Opini  

Presiden Siap Tanggung Utang Whoosh, Antara Keberanian dan Beban Warisan

Ketika Presiden menyatakan “saya siap bertanggung jawab atas utang Whoosh”, kalimat itu terdengar sederhana. Tapi di balik kata “siap” ada denyut politik yang dalam — denyut antara keberanian, warisan, dan arah baru pemerintahan.

Kalimat itu bukan sekadar tentang angka triliunan atau pinjaman dari Tiongkok. Ia tentang kepemimpinan, kesetiaan, dan narasi kekuasaan.

Kereta Cepat Whoosh — nama yang keren, singkat, dan modern — adalah anak kandung dari era Jokowi. Proyek ini sejak awal dimaksudkan sebagai simbol kemajuan Indonesia: kita bisa sejajar dengan negeri maju, bahkan punya kereta cepat lebih dulu dari Australia. Tapi seperti banyak proyek ambisius lainnya, Whoosh tak lahir tanpa kontraksi. Biaya membengkak. Skema “tanpa APBN” berubah jadi “disuntik PMN”. Dan publik mulai bertanya: siapa yang akan menanggung semua ini?

Kini, pertanyaan itu menemukan jawabannya: “Saya yang tanggung jawab.” Satu kalimat, tapi efeknya bisa seperti ledakan politik kecil. Kalimat itu bukan hanya milik Jokowi. Ia juga bisa menjadi kalimat Prabowo — siapa pun presiden yang berani berdiri di tengah badai warisan. Kalimat “siap bertanggung jawab” bisa dibaca dengan dua kacamata politik.

Sebagai sikap kenegarawanan, Presiden ingin menunjukkan bahwa negara tidak boleh lari dari tanggung jawab. Bahwa proyek strategis nasional harus dijaga, bukan dihindari. Namun di sisi lain, kalimat itu juga bisa menjadi sandi loyalitas politik. Jika Jokowi yang mengucapkannya, artinya ia ingin memastikan Prabowo tidak diserang isu “warisan utang”.

Jika Prabowo yang mengatakannya, artinya ia sedang menegaskan bahwa kepemimpinannya bukan tentang menyalahkan masa lalu, melainkan melanjutkan dengan kepala tegak. Keduanya berfungsi sama: menjaga kontinuitas kekuasaan dan menenangkan pasar politik.

Dalam politik, tanggung jawab adalah pedang bermata dua. Ia bisa mengukir nama sebagai pemimpin berani, tapi juga bisa melukai citra jika hasilnya gagal. Pernyataan tanggung jawab atas utang Whoosh jelas menunjukkan keberanian. Tapi sekaligus membuka ruang evaluasi publik: apakah proyek itu akan benar-benar memberi manfaat ekonomi, atau hanya menjadi monumen ambisi yang membebani negara?

Jokowi tampak ingin menutup masa pemerintahannya dengan catatan bahwa ia tak lari dari beban sejarah. Sementara Prabowo — jika kelak memegang kendali penuh — akan dihadapkan pada ujian pertama: menjadikan beban itu warisan yang bernilai.

Bagi Tiongkok, pernyataan presiden itu adalah jaminan politik. Bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada kerja sama Belt and Road Initiative. Bahwa perubahan pemerintahan tidak akan mengubah komitmen proyek. Bagi publik dalam negeri, pernyataan itu menimbulkan dua rasa: kagum dan waswas. Kagum pada keberanian. Waswas pada angka-angka yang masih kabur.

Kini bola ada di tangan pemerintahan baru. Apakah Whoosh akan menjadi kisah sukses sinergi dua rezim, atau justru beban fiskal yang diwariskan antar-generasi? Politik Indonesia selalu punya dua wajah: satu menatap masa lalu dengan nostalgia, satu lagi menatap masa depan dengan harapan. Dan di antara dua wajah itu, seorang presiden berdiri — mengatakan bahwa ia siap bertanggung jawab. Tidak banyak pemimpin yang mau mengucapkannya. Lebih sedikit lagi yang benar-benar siap menanggung akibatnya.

Whoosh adalah simbol dari cita-cita besar bangsa ini: melesat cepat. Tapi bangsa yang besar bukan hanya yang berani melaju cepat, melainkan yang juga berani berhenti sejenak, menengok arah, dan memastikan relnya tidak salah jalur.

Dan ketika seorang presiden berkata, “Saya siap tanggung jawab,” itu bukan sekadar pernyataan ekonomi — itu pernyataan jiwa. Bahwa dalam setiap utang ada moral, dan dalam setiap proyek ada sejarah. Yang kelak akan menulis siapa yang sekadar membangun, dan siapa yang benar-benar menanggungnya. (abdus syukur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *