Oleh: Syukur*
Di tengah kebutuhan modern akan layanan keuangan, umat Islam dihadapkan pada pilihan sistem perbankan: Bank Konvensional atau Bank Syariah. Pertanyaannya, sistem mana yang paling mendekati prinsip-prinsip ajaran Islam?
Dalam menjawab persoalan ini, para ulama, ekonom Muslim, dan lembaga otoritatif telah memberikan pandangannya. Tapi lebih dari itu, tinjauan fiqh dan kaidah-kaidah fiqhiyah pun memberi dasar normatif yang tak bisa diabaikan.
Sebagaimana diketahui, bank konvensional beroperasi dengan sistem bunga yang diterapkan baik pada kredit maupun simpanan. Dalam perspektif fiqh muamalah, bunga (interest) ini dikategorikan sebagai riba nasi’ah—tambahan dari utang yang dibayar karena adanya penundaan. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Pandangan ini ditegaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) yang menyatakan bahwa bunga bank adalah haram, karena mengandung unsur riba, gharar (ketidakjelasan), dan ketidakadilan. Dalam wawancara yang dikutip oleh Majalah Gontor edisi Ekonomi Islam, KH Ma’ruf Amin menyatakan:
“Bunga bank konvensional mengandung unsur riba. Maka, bagi umat Islam, sebaiknya menghindari sistem tersebut dan beralih ke sistem syariah yang bebas dari riba dan ketidakadilan.”
Pernyataan ini memperkuat posisi mayoritas ulama dalam menolak sistem bunga konvensional.
Meskipun demikian, tidak semua sarjana Muslim sepakat. Beberapa ekonom Muslim seperti Prof. Muhammad Abdul Mannan dan Dr. Mahmoud El-Gamal berpendapat bahwa tidak semua bunga identik dengan riba, terutama jika sistem tersebut dilakukan secara transparan dan adil.
Dalam bukunya Islamic Economics: Theory and Practice (1986), Prof. Mannan menyarankan agar bunga dinilai dalam konteks sosial ekonomi modern, bukan hanya dari sisi istilah. Pandangan ini bersifat minoritas, namun menyoroti pentingnya ijtihad kontemporer dalam menghadapi sistem keuangan global yang kompleks.
Sebagai respons atas kekhawatiran terhadap riba, lahirlah bank syariah sebagai institusi keuangan yang berusaha menyesuaikan sistem perbankan dengan nilai-nilai Islam. Alih-alih menggunakan bunga, bank syariah menerapkan sistem berbasis akad-akad muamalah seperti:
1. Mudharabah (bagi hasil modal-pengelola)
2. Musyarakah (kerja sama usaha)
3. Murabahah (jual beli dengan margin)
4. Ijarah (sewa menyewa)
Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab, bank syariah adalah bentuk ijtihad kontemporer untuk menciptakan keadilan ekonomi dan menghindari praktik ribawi maupun spekulatif. Dalam salah satu dialognya di TVRI dan Metro TV pada awal 2000-an, beliau menyebut:
“Bank syariah merupakan bentuk ijtihad kontemporer untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil, bersih dari praktik ribawi dan spekulatif.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa kehadiran bank syariah bukan sekadar pengganti teknis, tetapi bagian dari upaya maqashid syariah (menjaga harta dan keadilan) dalam kehidupan modern.
Realitas, Antara Label dan Esensi
Meski konsepnya ideal, praktik bank syariah tak luput dari kritik. Sebagian masyarakat menilai bahwa beberapa produk syariah hanya mengganti nama, tanpa mengubah esensi. Margin murabahah, misalnya, sering kali dianggap tak jauh berbeda dari bunga tetap dalam sistem konvensional.
Dr. Adiwarman A. Karim, pakar ekonomi Islam, dalam wawancaranya dengan Hidayatullah.com (14 Februari 2003) menegaskan:
“Bank syariah harus terus memperbaiki diri. Jangan hanya kosmetik. Prinsip syariah adalah keadilan dan transparansi, bukan sekadar bebas bunga.”
Landasan Fiqh dan Kaidah Fiqhiyah
Dalam ilmu fiqh, keputusan hukum tidak hanya bersandar pada nash, tetapi juga pada kaidah-kaidah ushuliyah dan qawaid fiqhiyah yang relevan. Beberapa kaidah penting yang dapat dijadikan landasan dalam memilih sistem keuangan antara bank konvensional dan syariah, antara lain:
الضرر يزال
“Bahaya harus dihilangkan.”
→ Riba dinilai sebagai bahaya ekonomi dan sosial yang harus dihindari.
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan.”
→ Jika bunga mengandung potensi mudarat spiritual dan sosial, maka meninggalkannya menjadi prioritas.
اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan tidak bisa dihapus dengan keraguan.”
→ Jika bank syariah menawarkan sistem yang jelas halal (walau belum sempurna), maka lebih utama dipilih daripada sistem konvensional yang jelas bermasalah dari sisi syariah.
الحيلة المباحة لا تنقض المقاصد
“Rekayasa hukum yang dibolehkan tidak boleh merusak tujuan syariah.”
→ Bank syariah perlu menghindari praktik rekayasa yang hanya mengganti istilah tanpa mengubah hakikat muamalah.
Fakta dan Dukungan Empiris
Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dirilis 21 Februari 2025 mencatat bahwa aset bank syariah tumbuh hampir 10% yoy, dengan total mencapai Rp 980,3 triliun, menandakan kepercayaan masyarakat yang terus meningkat.
(Siaran pers tersebut juga diliput oleh berbagai media nasional, termasuk ANTARA News, yang melaporkan bahwa market share perbankan syariah meningkat menjadi 7,72% pada Desember 2024).
Survei survei yang dilakukan oleh Populix pada Maret 2023 melibatkan 1.014 responden Muslim berusia 17 hingga 55 tahun di Indonesia. Hasil survei ini menunjukkan bahwa 35% responden menggunakan layanan bank syariah, dengan Bank Syariah Indonesia (BSI) menjadi bank yang paling banyak digunakan.
Selain itu, survei ini juga mengungkapkan bahwa 44% responden berniat membuka rekening bank syariah di masa depan, sementara 43% masih ragu, dan 13% menolak. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan mereka termasuk layanan pelanggan yang mudah dihubungi (91%), jaringan ATM yang luas (90%), pelayanan kantor cabang yang memuaskan (90%), aplikasi mobile banking (89%), dan biaya yang transparan (85%) .
Hasil survei di atas dimuat beberapa media seperti Kontan, Investor Daily dan dipublikasi langsung Populix di blog/platform mereka.
Pilihan Bijak dan Bernilai Ibadah
Menjauhi sistem keuangan ribawi dan memilih yang halal bukan sekadar keputusan ekonomi, melainkan pilihan spiritual. Dalam Islam, harta yang halal membawa berkah, sementara yang haram menjadi penghalang doa dan keberkahan.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad:
“Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka lebih utama baginya.” (HR. Ahmad)
Maka, meski bank syariah belum sempurna, ia tetap menjadi ijtihad kolektif umat untuk menghadirkan sistem yang lebih adil dan bermartabat.
📌 Catatan Penulis:
Artikel ini merupakan ikhtiar kecil dalam menerjemahkan nilai-nilai fiqh ke dalam persoalan keuangan modern, agar umat Islam tak hanya menjadi pengguna jasa perbankan, tetapi juga pelaku perubahan menuju sistem yang berkah dan bermakna. (*)
*Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram
Gambar ilustrasi (net)
Referensi:
1. Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah: 275
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
2. Fatwa DSN-MUI No. 1/DSN-MUI/IV/2000 tentang Bunga (Interest)**
Menetapkan bahwa bunga bank merupakan riba dan karenanya haram.
3. Wawancara KH Ma’ruf Amin** dalam Majalah Gontor, Edisi Khusus Ekonomi Islam, 2002.
4. Mannan, Muhammad Abdul. Islamic Economics: Theory and Practice. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1986.
5. El-Gamal, Mahmoud A. Islamic Finance: Law, Economics, and Practice. Cambridge University Press, 2006.
6. Quraish Shihab.Pernyataan dalam dialog TVRI dan Metro TV awal 2000-an, dikutip dari berbagai publikasi dakwah.
7. Adiwarman A. Karim. Wawancara dengan Hidayatullah.com, 14 Februari 2003.
“Bank syariah harus terus memperbaiki diri. Jangan hanya kosmetik…”
8. OJK. Siaran Pers: Kinerja Industri Jasa Keuangan Terkini, 21 Februari 2025.
Diakses dari [www.ojk.go.id](https://www.ojk.go.id)
Market share bank syariah Desember 2024: 7,72%, aset Rp 980,3 triliun.
9.Populix.Laporan Survei Minat terhadap Perbankan Syariah di Indonesia, Maret 2023.
10. Hadis Nabi Muhammad SAW**, riwayat Ahmad, no. 21371
“Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka lebih utama baginya.”
11. Kaidah-kaidah fiqhiyah klasik, dirujuk dari:
Al-Zarkasyi, Al-Bahr Al-Muhith*
Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazha’ir
Wahbah al-Zuhaili, */Usul al-Fiqh al-Islami, Jilid 2.