Ada yang khas di Lombok. Kalau ada acara maulid, suasana dusun mendadak semarak. Bukan hanya karena lantunan salawat yang terdengar nyaring dari pengeras suara masjid. Tapi juga karena aroma makanan yang menyeruak dari dapur rumah-rumah warga.
Orang sini menyebutnya dulang. Satu baki besar berisi nasi, lauk-pauk, sayur, dan kue-kue tradisional. Ada yang dimakan bersama di tempat. Ada pula yang disiapkan untuk dibawa pulang. Itulah bentuk jamuan. Sebuah tradisi. Tapi sekaligus ibadah sosial.
Di Dusun Barang Ganang, Desa Ranggagata, Praya Barat Daya, Lombok Tengah, acara maulid kali ini dihadiri dua tokoh agama: TGH Patompo Adnan dan TGH Syaifudin Zuhri.
TGH Syaifudin Zuhri didaulat memberikan uraian hikmah. Isinya sederhana tapi dalam. Bahwa momen maulid bukan hanya peringatan lahirnya Nabi. Tapi juga jalan untuk menzahirkan cinta kepada beliau.
Kita tahu, rasa cinta kita tidak mungkin bisa menyamai para sahabat. Juga tidak mungkin setara dengan ulama-ulama terdahulu. Tapi ada jalannya: dengan doa, dengan salawat.
TGH Syaifudin Zuhri menyinggung kisah masa kecil Rasul. Saat beliau lahir, awan menaungi. Saat dibawa bertawaf, ada tanda-tanda kemuliaan. Bahkan orang Quraisy pun tahu: Muhammad adalah keturunan orang terpandang.
Tetapi, di masa itu, orang masih banyak yang menyembah berhala. Kalau kemarau panjang, mereka minta hujan lewat berhala. Orang Sasak menyebutnya nede.
Kini, kita tidak lagi nede.
Kita meminta kepada Allah. Lewat doa. Lewat salawat.
Konteks kekinian, itulah yang ditekankan para tuan guru. Bahwa salawat adalah jawaban untuk banyak pertanyaan batin kita. Mengusir ragu. Menepis gelisah.
Karena, Allah sendiri bersalawat kepada Nabi. Malaikat juga. Maka apa salahnya kita memperbanyak salawat?
Itulah tanda cinta Allah kepada Nabi-Nya. Dan itulah pula jalan cinta kita kepada beliau. Sebuah maulid di dusun.
Bukan sekadar dulang. Bukan sekadar jamuan. Tapi juga pelajaran.
Bahwa dari sebuah perayaan sederhana, tersimpan pesan besar: memperbanyak salawat. (*)