Hukum  

Praktisi Hukum Nilai Legislator NTB Ajukan Perlindungan LPSK Hanya Sebagai Alibi

MATARAM (NTBNOW.CO)– Kasus dugaan gratifikasi atau Uang Siluman di lingkungan DPRD NTB kembali menjadi sorotan publik. Terlebih setelah 15 legislator mengajukan permohonan perlindungan massal ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Langkah ini menimbulkan berbagai respons, termasuk dari kalangan praktisi hukum.

Praktisi hukum I Gusti Putu Ekadana menilai permohonan perlindungan tersebut tidak lebih dari sekadar alibi para wakil rakyat yang terseret isu gratifikasi Pokir. “Itu kan hanya alibi,” ujarnya, Senin (8/12).

Menurutnya, kasus ini sejak awal sudah menarik perhatian publik luas. Namun sempat muncul tanda-tanda meredupnya penanganan kasus, yang memunculkan dugaan adanya intervensi politik yang memengaruhi proses hukum.

“Jangan sampai perlindungan LPSK dijadikan ruang cawe-cawe sehingga penanganan kasus ini melambat, atau lebih parah lagi dipetieskan,” tegasnya.

Di sisi lain, Ekadana mengapresiasi sejumlah anggota DPRD NTB yang menolak menerima dana siluman, meski nama mereka tercantum sebagai penerima. Ia menilai langkah itu menunjukkan masih ada anggota dewan yang berhati-hati dan menjaga integritas sebagai wakil rakyat. “Yang menolak, patut kita acungi jempol,” tambahnya.

Kronologi Pengajuan Perlindungan ke LPSK

Permohonan perlindungan yang diajukan 15 legislator tersebut masuk pada 24 November 2025. Mereka mengklaim adanya tekanan dan ancaman sistematis terhadap saksi yang dapat menghambat proses pengungkapan kasus korupsi yang tengah menjadi perhatian masyarakat.

Sementara itu, Kejaksaan Tinggi NTB sebelumnya telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini, yakni:

M. Nashib Ikroman (MNI) – Komisi III

Indra Jaya Usman (IJU) – Komisi V

Hamdan Kasim – Komisi IV

Sejumlah anggota DPRD NTB juga telah mengembalikan uang gratifikasi lebih dari Rp 2 miliar ke Kejati NTB. Pengembalian ini turut memperkuat alat bukti yang menaikkan status kasus ke tahap penyidikan.

Para tersangka dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf b UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Awal Mula Kasus: Fee Pokir Senilai 15 Persen

Kasus ini berawal dari laporan adanya pembagian fee Pokir. Setiap anggota DPRD disebut menerima jatah Pokir sebesar Rp 2 miliar, bukan dalam bentuk program seperti lazimnya, melainkan berupa fee 15 persen atau sekitar Rp 300 juta per orang.

Kejati NTB kemudian menindaklanjuti laporan tersebut melalui Surat Perintah Penyelidikan Nomor PRINT-09/N.2/Fd.1/07/2025 tanggal 10 Juli 2025. Proses klarifikasi pun telah melibatkan pimpinan dan anggota dewan, serta beberapa pejabat eksekutif Pemprov NTB. (can)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *