Dana direktif kepala daerah. Istilah ini terdengar resmi. Ada kata “dana”, ada kata “direktif”. Tapi kalau dua kata ini digabung, di telinga publik, aromanya bisa berubah.
Konsepnya sebenarnya sederhana. Kepala daerah boleh mengarahkan sebagian anggaran—uang rakyat—ke program tertentu. Katanya, ini untuk menindaklanjuti aspirasi warga yang ia temui saat turun ke lapangan. Jalan kampung rusak. Pintu irigasi macet. Lapangan bola anak-anak becek. Semua itu, katanya, bisa cepat dibenahi lewat dana direktif.
Kalau prosedurnya benar, ini justru mempercepat pelayanan. Harus dibahas bersama DPRD. Harus tertulis di APBD. Harus dijalankan oleh OPD yang tepat. Semua transparan. Semua bisa dicek. Dalam kondisi seperti ini, dana direktif ibarat jalan tol: lurus, cepat, dan terang benderang.
Masalahnya, di banyak daerah, dana ini seperti punya pintu belakang. Ada yang bilang pintu itu legal. Ada yang bilang pintu itu ilegal. Kadang prosesnya seperti ini: APBD sudah diketok palu. Semua program sudah dibagi. Lalu kepala daerah merasa perlu “penyesuaian” setelahnya. Alasannya: ada kebutuhan mendadak, situasi berubah, ada aspirasi baru. Anggaran pun diubah. Resmi? Bisa iya, bisa tidak. Tergantung siapa yang bicara.
Contohnya di NTB. Heboh. Ada yang bilang ratusan miliar menguap. Aktivis dan sebagian DPRD menyebutnya “dana siluman”. Pemerintah daerah membantah. Katanya, semua lewat prosedur. Semua sesuai aturan. Publik pun bingung. Mana yang benar?
Fenomena ini bukan monopoli NTB. Di Jawa Tengah, pernah juga ada tudingan serupa. Bedanya, di sana “dana direktif” dikemas sebagai program prioritas gubernur. Ada cap “prioritas” di dokumen APBD, jadi jelas siapa yang mengarahkan. Tapi tetap saja, oposisi di DPRD mengkritik karena program itu masuk setelah pembahasan utama selesai.
Di Sulawesi Selatan, istilahnya bukan dana direktif, tapi “program penugasan gubernur”. Bedanya tipis. Mekanismenya pun mirip. Bedanya lagi, di Sulsel ini lebih sering memicu debat politik daripada laporan hukum.
Kita melihat polanya sama: dana direktif akan jadi masalah kalau prosesnya gelap. Bukan soal jumlahnya, tapi soal jalurnya. Jalan tol itu jelas: ada papan petunjuk, lampu, dan CCTV. Jalan tikus itu sempit, gelap, dan penuh semak. Kadang bisa tembus lebih cepat. Tapi lebih sering justru bikin nyasar.
Uang rakyat itu seperti air di kendi. Semua orang berhak minum. Kalau ada yang minum diam-diam, banyak-banyak, lalu bilang “ini demi kepentingan bersama”, orang lain akan curiga. Wajar. Dana direktif pun begitu. Kalau jalannya jelas, rakyat akan senang. Kalau jalannya gelap, rakyat akan bertanya. Dan kalau pertanyaan itu tidak dijawab, mereka akan mencari jawabannya sendiri—sering kali lewat asumsi.
Akhirnya, semua kembali ke satu hal: pilihan jalur. Kepala daerah bisa memilih jalan tol yang terang, atau jalan tikus yang sepi. Tapi harus ingat, di era sekarang, jalan tikus pun banyak yang sudah dipasangi CCTV oleh publik. Dan rekamannya tidak pernah bisa dihapus. *