PESANTREN merupakan benteng moral dan pusat pendidikan Islam yang telah membentuk peradaban Nusantara sejak berabad silam. Di balik kesederhanaannya, pesantren telah melahirkan ulama besar, pemimpin bangsa, dan generasi yang tangguh secara spiritual dan sosial. Namun, eksistensi pesantren kini menghadapi tantangan serius yang bisa menggerus marwah lembaga pendidikan Islam ini jika tak segera ditangani.
Setidaknya ada tiga persoalan utama yang menjadi “lampu merah” di lingkungan pesantren: bullying sesama santri, kekerasan seksual oleh oknum pengurus, dan intoleransi terhadap perbedaan.
1. Bullying, Tradisi Salah yang Harus Dihentikan
Masih banyak pesantren yang belum terbebas dari praktik perundungan atau bullying. Santri baru sering menjadi sasaran kekerasan fisik, verbal, hingga tekanan psikologis dari senior mereka. Mirisnya, sebagian praktik ini dianggap “pembentukan mental” atau “tradisi senioritas”.
Padahal, Islam menolak keras segala bentuk kezaliman antarsesama Muslim. Jika tidak dicegah, praktik ini dapat melahirkan trauma dan menciptakan lingkaran kekerasan yang terus berulang.
Solusi: Pesantren harus membentuk satuan tugas perlindungan santri, menyediakan saluran aduan yang aman dan rahasia, serta memberi pelatihan kepada pengurus tentang manajemen konflik dan psikologi santri.
2. Kekerasan Seksual oleh Oknum Ustaz, Luka yang Dalam
Dalam beberapa tahun terakhir, publik dikejutkan oleh kasus kekerasan seksual di pesantren yang melibatkan oknum ustaz atau pengasuh. Kasus-kasus ini menyayat hati dan menodai kepercayaan masyarakat terhadap institusi pesantren.
Korban tak hanya mengalami penderitaan fisik, tetapi juga beban psikis dan sosial yang berkepanjangan. Ironisnya, sebagian kasus ditutupi oleh internal pesantren dengan alasan menjaga nama baik.
Solusi: Rekrutmen ustaz dan pengurus harus melalui seleksi ketat. Pesantren wajib menerapkan standar perlindungan anak dan menjalin kerja sama dengan lembaga eksternal seperti Komnas Perempuan dan aparat penegak hukum. Pendidikan tentang batas aurat dan hak tubuh juga penting diajarkan kepada santri sejak dini.
3. Intoleransi, Racun Bagi Nilai-nilai Islam
Pesantren seharusnya menjadi laboratorium keberagaman pemikiran Islam. Namun, dalam praktiknya, masih ada lembaga yang menanamkan sikap tertutup dan membenci kelompok lain di luar mazhab atau organisasi mereka.
Intoleransi ini bukan hanya mencederai prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin, tetapi juga menghambat santri menjadi pribadi terbuka dan toleran dalam kehidupan bermasyarakat.
Solusi: Moderasi beragama harus menjadi bagian dari kurikulum. Pimpinan pesantren perlu mengajak santri berdialog lintas kelompok dan menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan untuk memperluas wawasan kebangsaan dan keislaman.
Menjaga Marwah Pesantren
Menjaga pesantren dari tiga penyakit sosial tersebut bukan berarti mencoreng institusi keislaman ini. Justru sebaliknya, ini adalah ikhtiar untuk mengembalikan roh pesantren sebagai tempat yang aman, bersih, dan mendidik sesuai nilai-nilai Islam.
Pemerintah, ormas Islam, tokoh masyarakat, orang tua, dan alumni harus bahu membahu mendukung perbaikan sistem di pesantren. Karena di pundak pesantren, masa depan generasi Muslim Indonesia dititipkan.
“Jika pesantren bersih dari kekerasan dan intoleransi, maka ia akan menjadi cahaya peradaban Islam yang tak tergantikan.” (Redaksi ntbnow.co)