CERPEN  

Jejak Pena yang Tak Pernah Padam

Deru mesin cetak bergemuruh, mengisi malam yang mulai larut di sudut redaksi. Taufik, pria paro baya dengan rambut mulai memutih di pelipis, berdiri memandangi gulungan kertas yang keluar dengan ritme teratur.

Secangkir kopi dingin tergeletak di meja kerjanya, tak tersentuh sejak tadi. Matanya lelah, tapi pikirannya terus bekerja, memutar setiap kata yang akan menghiasi halaman depan edisi besok.

“Pak Taufik, headline-nya sudah siap. Tinggal koreksi sedikit.” Suara Wahyu, wartawan muda yang baru beberapa bulan bergabung, memecah keheningan.

Taufik mengangguk tanpa menoleh. “Letakkan di meja. Aku cek sebentar lagi.”

Seperti biasa, malam itu Taufik adalah orang terakhir yang meninggalkan kantor. Setelah semua selesai, ia duduk di meja kerjanya, menatap foto tua yang terpajang di pojok meja. Foto itu memperlihatkan dirinya di usia 20-an, dengan senyum optimis, memegang kartu pers pertamanya.

Ia mengingat awal mula perjalanan panjangnya. Dua puluh lima tahun lalu, ia memutuskan menjadi wartawan—pekerjaan yang menurutnya bukan sekadar profesi, melainkan panggilan. Ia ingin menjadi suara bagi mereka yang tak terdengar, penutur bagi mereka yang terbungkam. Namun, ia tak pernah menyangka jalan itu akan penuh dengan onak dan duri.

Suatu malam di tahun 1995, Taufik mendapatkan tugas meliput demo buruh yang menuntut kenaikan upah. Demo itu berakhir ricuh, dan ia terjebak di tengah massa yang marah. Gas air mata menyengat matanya, tapi ia tetap bertahan, mencatat setiap kejadian dengan tangan gemetar. Artikel yang ditulisnya keesokan hari menjadi sorotan karena mengungkap kekerasan yang dilakukan aparat.

Sejak saat itu, Taufik dikenal sebagai wartawan yang berani, tapi juga kerap diincar oleh mereka yang tak suka dengan keberaniannya. Amplop-amplop tebal sering mampir ke mejanya, meminta berita dimanipulasi atau dihapus. Namun, Taufik selalu menolaknya. Baginya, integritas adalah segalanya.

“Kenapa tidak ambil jalan mudah saja, Pak? Hidup bisa lebih nyaman,” tanya Wahyu suatu malam, setelah menyaksikan Taufik menolak tawaran besar dari seorang pejabat.

Taufik tersenyum tipis. “Wartawan itu bukan penjaja berita, Wahyu. Kita ini penjaga kebenaran. Kalau prinsip itu hilang, habis sudah martabat kita.”

Malam terus merayap. Taufik akhirnya memutuskan untuk pulang. Di perjalanan, ia memikirkan hidupnya. Tidak ada yang abadi, pikirnya. Usianya kian menua, tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Namun, ia merasa tidak menyesal sedikit pun.

Hidupnya memang tidak kaya harta, tapi kaya cerita. Setiap berita yang ia tulis adalah bagian dari jejak yang ia tinggalkan di dunia ini. Baginya, menjadi wartawan adalah takdir yang harus ia jalani, sampai kapan pun.

Di depan rumahnya yang sederhana, ia berhenti sejenak, memandang ke langit malam. Bintang-bintang bersinar redup, seperti memberinya pelukan hangat. Ia tahu, hidupnya mungkin tidak sempurna. Tapi satu hal yang pasti: hidupnya hanya untuk wartawan. (**)

Ilustrasi Foto: bing.com