Di suatu pagi yang basah oleh gerimis, Laila sedang duduk di ruang tamu rumah mungilnya yang hangat. Tangannya sibuk mengaduk kopi untuk suaminya, Arman, yang baru saja pulang dari perjalanan bisnis. Laila tersenyum kecil, memandangi foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding, mengingat kembali janji-janji setia yang pernah diucapkan suaminya.
Hari itu, seperti biasa, Laila menyiapkan sarapan dengan penuh cinta. Arman terlihat sibuk mengetik di ponselnya. Sesekali ia tersenyum sambil membaca pesan yang masuk, membuat Laila penasaran. Namun, Laila memilih untuk tak terlalu memikirkan itu. Bagi dirinya, kepercayaan adalah landasan dalam pernikahan, sesuatu yang ia pegang teguh selama hampir sepuluh tahun.
Hingga suatu malam yang sunyi, saat Laila terbangun dari tidurnya karena mendengar ponsel suaminya berbunyi. Awalnya, ia tak ingin melihatnya, tapi pesan yang masuk terus berdatangan. Dengan hati-hati, Laila membaca pesan yang tertera di layar. Betapa hancurnya hatinya saat mengetahui pesan-pesan itu bukan sekadar urusan pekerjaan, tapi penuh dengan kata-kata mesra dari seorang perempuan bernama Rani.
Dadanya terasa sesak, napasnya terhenti sejenak. Kenangan manis berputar di kepalanya, pernikahan yang ia jaga dengan sepenuh hati, pengorbanan yang ia lakukan untuk selalu ada di samping Arman, semua terasa runtuh dalam sekejap. Namun, ia memilih untuk menyimpan rasa sakitnya. Ia memutuskan untuk tak langsung mengonfrontasi Arman. Sebaliknya, ia berusaha mengumpulkan kekuatan untuk berbicara dengan tenang.
Beberapa hari kemudian, Laila mengajak Arman duduk di ruang tamu, tempat mereka dulu berbicara tentang impian dan masa depan bersama. Dengan suara yang gemetar, ia berkata, “Aku tahu tentang Rani.” Arman tersentak, matanya membelalak, dan ia terlihat gelisah.
“Aku sudah tahu semuanya, Man. Aku hanya ingin tahu, kenapa?”
Arman terdiam, berusaha mencari alasan, tapi Laila memotong, “Aku tak butuh alasan. Aku hanya ingin tahu, apakah kamu pernah berpikir tentang aku dan anak-anak saat melakukan semua itu?”
Suara Laila bergetar, namun wajahnya tetap tegar. Melihat ketulusan Laila yang penuh luka itu, Arman hanya bisa menundukkan kepala, menyadari bahwa ia telah mengkhianati cinta yang tulus.
“Maafkan aku, Laila,” kata Arman lirih. Namun, bagi Laila, kata maaf tak akan cukup untuk menyembuhkan luka ini. Tapi ia tetap bertahan di hadapannya, tak ada air mata yang mengalir. Ia tahu, di dalam dirinya, ia masih mencintai Arman.
Malam itu, setelah semua emosi tertumpah, Laila menyadari satu hal—kesetiaan tak melulu soal tetap tinggal. Ada kalanya, kesetiaan adalah tentang melepaskan, merelakan, dan memberi kesempatan pada diri sendiri untuk sembuh. Dan meski berat, Laila memutuskan untuk menjalani hidupnya tanpa bayang-bayang pengkhianatan.
Laila berjalan menuju jendela, memandangi gerimis yang mulai reda, seperti hatinya yang perlahan mencoba pulih. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa apa pun yang terjadi, ia akan tetap berdiri tegak, untuk dirinya dan anak-anaknya.
Di balik janji setia yang pernah ia ucapkan, Laila menemukan kekuatan baru. Bukan lagi demi Arman, tetapi demi dirinya yang pantas untuk bahagia. (ai)
Ilustrasi: bing.com