Di ujung senja itu, Angga duduk di tepi pantai, memandang jauh ke arah cakrawala. Angin sore yang sepoi-sepoi seolah mengusik pikirannya. Ia mengingat momen-momen kecil yang membuat hatinya selalu bergetar setiap kali melihat Rina.
Rina, gadis manis berkerudung merah yang selalu menyapa pagi dengan senyuman, adalah teman sekelasnya di kampus. Setiap kali ia bicara, ada kekuatan yang membuat Angga tertarik. Tidak hanya dari kecantikannya, tapi dari ketulusan yang terpancar dari matanya.
“Angga, kenapa kamu diam aja? Ada yang mau kamu ceritakan?” suara lembut Rina memecah lamunannya suatu sore di kantin kampus.
Angga menatap wajahnya. Hatinya selalu penuh ketika melihat senyum itu. Namun, ia hanya tersenyum kecil dan berkata, “Enggak, Rina. Aku cuma lagi mikirin tugas.”
Padahal, yang sebenarnya ada di pikirannya adalah dirinya dan Rina. Betapa selama ini ia mengagumi gadis itu dari jauh. Tapi ia tahu, Rina terlalu jauh di atasnya. Rina pintar, penuh semangat, dan selalu punya cara untuk membuat orang lain tersenyum. Sementara dirinya? Angga hanyalah mahasiswa biasa yang lebih suka menghabiskan waktu menyendiri.
Hari-hari berlalu, dan perasaannya pada Rina semakin kuat. Tapi Angga tetap memilih untuk diam. Ia takut, jika ia mengatakan perasaannya, semuanya akan berubah. Dan ia lebih memilih untuk tetap berada di samping Rina sebagai teman, daripada harus kehilangan senyuman yang selalu menjadi penyemangatnya.
Suatu hari, di tengah suasana kampus yang sibuk, Rina menghampiri Angga. “Nggak, aku mau cerita sesuatu,” katanya sambil duduk di sebelah Angga.
Angga melihat ke arahnya, mencoba menebak apa yang ingin disampaikan Rina.
“Aku diterima magang di luar negeri, Angga. Aku akan pergi selama setahun,” kata Rina sambil tersenyum.
Dunia Angga seolah runtuh mendengar kabar itu. Ia berusaha tersenyum, tapi hatinya hancur. “Wah, selamat ya! Aku tahu kamu pasti berhasil,” ucapnya sambil berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Namun, sebelum ia sempat mengatakan lebih, Rina melanjutkan, “Tapi ada yang mau aku sampaikan sebelum aku pergi, Angga.”
Hati Angga berdebar. Ia menatap Rina, berharap sekaligus takut mendengar apa yang akan dikatakan.
“Aku suka sama kamu,” kata Rina pelan tapi tegas. “Dari dulu, aku selalu nunggu kamu ngomong dulu. Tapi sepertinya, kamu nggak pernah berani, ya?”
Angga tertegun. Ia tak percaya apa yang baru saja didengarnya. “Rina… aku juga suka sama kamu. Tapi aku takut. Takut merusak persahabatan kita.”
Rina tersenyum, senyum yang selalu membuat hati Angga tenang. “Kamu tahu, kadang kita harus berani mengambil risiko. Mungkin kita akan terpisah sementara, tapi aku percaya, kalau kita memang berjodoh, kita pasti akan bertemu lagi.”
Senja perlahan berubah menjadi malam. Angga dan Rina duduk bersama, berbagi perasaan yang selama ini terpendam. Dan di sana, di tepi pantai itu, mereka berjanji untuk saling menunggu, apapun yang terjadi di masa depan.
Cinta anak muda, penuh dengan ketakutan, harapan, dan keberanian. Tapi yang terpenting, cinta itu selalu tahu kapan harus berkata jujur, meski terkadang datang di ujung senja.