Gelombang besar menerjang, membuat perahu kecil itu terangkat lalu jatuh menghantam permukaan laut dengan keras. Air laut memercik ke wajah Ramli dan Salim, membuat mereka terbatuk-batuk.
“Ram! Perahu kita kemasukan air!” teriak Salim panik.
Ramli menoleh dan melihat betapa cepatnya air masuk melalui celah-celah kayu yang mulai rapuh. Tangannya gemetar saat mencoba mengayuh lebih keras, berharap bisa mengarahkan perahu ke arah pantai.
Namun, laut seperti memiliki rencana lain. Ombak kembali datang, kali ini lebih besar. Perahu mereka miring tajam. Salim berpegangan pada sisi perahu, tubuhnya nyaris terpental ke laut.
“Pegang erat, Lim!” seru Ramli.
Namun terlambat. Gelombang berikutnya menerjang dengan kekuatan luar biasa, membuat perahu mereka berputar sebelum akhirnya… terbalik.
Salim tercebur ke laut, tubuhnya tenggelam sesaat sebelum ia berusaha menggapai permukaan. Ramli berusaha berenang menuju perahu yang kini mengapung terbalik, memeganginya dengan sekuat tenaga.
“Demi Tuhan, Ram, kita akan mati di sini!” suara Salim bergetar.
Ramli menoleh, melihat sahabatnya yang mulai kelelahan. Mereka sudah terlalu lama terombang-ambing.
Di kejauhan, langit semakin gelap. Hujan mulai turun, angin bertiup lebih kencang.
Namun, dalam kondisi putus asa itu, Ramli melihat sesuatu—lampu kapal!
“Kita harus bertahan, Lim! Ada kapal di sana!” serunya penuh harapan.
Mereka mulai berteriak sekuat tenaga, berharap seseorang di kapal itu mendengar mereka. Namun suara mereka tenggelam oleh badai yang mengamuk.
Waktu berlalu. Tubuh mereka semakin lemah.
Lalu, perlahan-lahan, kesadaran Ramli mulai memudar… (bersambung)
Cerbung ini dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan
Ilustrasi: bing.com