LANGIT di ufuk timur tampak gelap, meski matahari sudah seharusnya muncul. Awan kelabu menggantung rendah, seolah siap menumpahkan hujan kapan saja. Di kejauhan, suara deburan ombak terdengar lebih keras dari biasanya, pertanda angin barat sudah benar-benar tiba.
Ramli berdiri di bibir pantai, menatap laut yang mulai bergolak. Perahu kecilnya terombang-ambing di antara gelombang, terikat dengan tambang yang mulai longgar. Ia menarik napas dalam, berusaha mengusir keraguan dalam hatinya.
Dari kejauhan, seorang lelaki tua dengan kulit terbakar matahari mendekat. Salim, sahabat sekaligus tetangganya, berjalan tertatih, membawa seikat jaring yang mulai usang.
“Ram, kau masih ingin melaut hari ini?” tanyanya, suaranya serak oleh usia dan terlalu sering berbicara dengan angin laut.
Ramli tak segera menjawab. Ia menoleh ke arah gubuk kecilnya, melihat Siti, istrinya, sedang mengaduk bubur di panci tanah liat. Bubur yang lebih banyak air daripada beras. Dua anak mereka duduk di sudut, menatap panci itu dengan mata penuh harap.
“Kalau aku tak melaut, besok mereka makan apa?” ujar Ramli lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada menjawab Salim.
Salim menghela napas berat. Ia tahu alasan itu benar. Di kampung nelayan kecil ini, hidup mereka ditentukan oleh hasil tangkapan. Tak ada tabungan, tak ada pekerjaan lain. Jika tak melaut, berarti tak makan.
Namun, angin barat bukan sekadar musim biasa. Ia datang membawa gelombang tinggi, arus deras, dan bahaya yang tak terduga.
“Kita bisa menunggu beberapa hari lagi,” usul Salim.
“Tidak, Lim. Aku tak bisa menunggu,” jawab Ramli mantap.
Dengan berat hati, mereka mulai menyiapkan perahu. Ombak semakin besar, angin semakin menusuk. Tapi Ramli sudah memutuskan. Ia harus melawan badai, demi keluarganya.
Di belakang mereka, Siti berdiri di pintu gubuk, menggenggam erat kain lusuh di tangannya. Bibirnya bergetar saat melihat suaminya melangkah menuju laut.
“Semoga kau pulang dengan selamat, Bang…” (bersambung)
*Cerbung ini dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan
Ilustrasi: bing.com