Pers di Persimpangan Digital, Argumentasi Ilmiah atas Kebutuhan Pembaruan UU Pers Indonesia

Latar Belakang

Dalam satu dekade terakhir, perkembangan teknologi digital mengubah struktur industri media secara drastis. Media global berbasis platform—seperti Google, Meta, dan TikTok—menguasai distribusi konten dan pendapatan iklan, sementara media nasional mengalami pelemahan signifikan. Survei Dewan Pers (2022–2023) menunjukkan lebih dari separo media lokal berada dalam kondisi keuangan tidak sehat³.

Dalam konteks ini, pernyataan Hendry Ch Bangun (Ketua Dewan Pers dan mantan Ketum PWI Pusat) yang menyebut UU Pers sebagai regulasi yang “tidak lagi menopang kebutuhan zaman” menjadi relevan¹. UU 40/1999, yang dirancang dalam semangat reformasi, saat ini menghadapi keterbatasan dalam mengatur ekosistem digital yang sepenuhnya baru.

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis urgensi amandemen UU Pers dari tiga aspek utama:

• Kelembagaan, khususnya posisi Dewan Pers dan peran negara.

• Norma hukum, terutama pasal-pasal yang diuji atau berpotensi multitafsir.

• Ekosistem pers, mencakup ekonomi media, profesionalisme SDM, dan perlindungan jurnalis.

Kerangka Teoretis

Kajian ini menggunakan pendekatan:

• Teori Ekosistem Media—yang menekankan bagaimana media dipengaruhi faktor ekonomi, teknologi, dan struktur kekuasaan.

• Teori Regulasi Publik—yang menempatkan negara sebagai aktor yang wajib menjamin keseimbangan kepentingan publik dan industri.

• Teori Kebebasan Pers Demokratik—yang menuntut kebebasan, independensi, dan profesionalisme pers sebagai pilar demokrasi.

Pendekatan teoretis ini digunakan untuk memetakan ketegangan antara kepentingan kebebasan pers, kebutuhan penguatan kelembagaan, dan tekanan ekonomi digital global.

Pembahasan

1. Kelembagaan Dewan Pers dan Peran Negara

Dewan Pers dibentuk untuk menjamin kemerdekaan pers dan meningkatkan profesionalisme. Namun secara kelembagaan, dukungan negara masih terbatas. Parameter seperti dukungan APBN, mandat pembinaan, dan ruang otoritas menunjukkan lemahnya fondasi institusional⁸.

Putusan MK No. 38/PUU-X/2012⁹ menegaskan independensi Dewan Pers, tetapi tidak memperluas kewenangan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan baru seperti:

• Infodemi digital,

• Dominasi platform global,

• Fragmentasi organisasi pers,

• Ketidakjelasan standar kompetensi profesi.

Ketiadaan norma teknis membuat lembaga non-mainstream seperti IWO dapat menyelenggarakan UKW secara sah¹⁰, menciptakan kerancuan standar profesi.

 

2. Norma UU 40/1999 yang Mengalami Ketidakcukupan

Beberapa pasal dalam UU Pers telah diuji di MK (misalnya Pasal 8 dan Pasal 15), namun tidak ada perubahan substantif yang menyelesaikan kebutuhan industri¹¹. Norma-norma mengenai perlindungan jurnalis, peran Dewan Pers, serta standar profesionalisme belum dirumuskan secara operasional.

Ketidakcukupan ini menyebabkan ketidaksinkronan antara praktik dan regulasi. Misalnya:

• Perlindungan jurnalis berbasis lex specialis tidak terformulasi jelas.

• Standardisasi kompetensi tidak didukung norma.

• Tidak ada kerangka regulasi untuk hubungan media–platform digital.

Hal ini memperlihatkan bahwa UU Pers membutuhkan pembaruan yang tidak hanya kosmetik, tetapi struktural.

 

3. Ekosistem Media: Krisis Ekonomi, SDM, dan Perlindungan Profesi

Penurunan pendapatan iklan membuat banyak media mengurangi ruang redaksi, mengubah pola kerja jurnalis, dan menggeser orientasi liputan ke konten cepat berbasis klik³. Kondisi ini berdampak langsung pada kualitas jurnalistik.

Tokoh pers seperti Atmakusumah Astraatmadja dan Nezar Patria menggarisbawahi perlunya intervensi negara untuk menyeimbangkan ketimpangan antara media dan platform global⁴⁵. Media daerah, sebagaimana dikemukakan Teguh Santosa, berada dalam posisi paling rentan⁶.

Di sisi lain, perlindungan jurnalis terhadap kekerasan dan kriminalisasi masih menjadi persoalan. Laporan Dewan Pers 2023 mencatat peningkatan kasus intimidasi dan kekerasan digital terhadap jurnalis⁷.

Gagasan Sjafri Sjamsuddin mengenai peningkatan kesejahteraan—termasuk jaminan kesehatan jurnalis—menjadi salah satu opsi kebijakan yang dapat dimasukkan dalam rancangan amandemen UU¹³.

 

Kesimpulan

Amandemen UU Pers merupakan kebutuhan mendesak dalam konteks perubahan ekosistem media, perkembangan teknologi, serta ketidakcukupan norma yang ada. Kajian ini menunjukkan bahwa penguatan regulasi dibutuhkan pada tiga aspek utama:

• Kelembagaan Dewan Pers, termasuk memperjelas peran, dukungan negara, dan otoritas kebijakan.

• Norma UU Pers, untuk memberikan kejelasan mengenai perlindungan jurnalis, standardisasi profesi, dan hubungan media–platform digital.

• Ekosistem media, dengan fokus pada ketahanan ekonomi media, penguatan SDM jurnalis, serta pemerataan keberlanjutan media daerah.

Amandemen bukan ancaman bagi kemerdekaan pers. Sebaliknya, ia merupakan instrumen strategis untuk memastikan keberlanjutan pers sebagai pilar demokrasi dan penyeimbang kekuasaan. (abdus syukur)

Referensi

• Hendry Ch Bangun. Pernyataan dalam Forum Konsultasi Dewan Pers 2023–2024.

• Koalisi Masyarakat Sipil. “Catatan Advokasi Revisi UU KPK, UU ITE, dan UU Penyiaran.” 2020–2023.

• Dewan Pers. Survei Ekonomi Media Nasional 2022–2023. Jakarta.

• Astraatmadja, Atmakusumah. Diskusi UJPI, 2023.

• Patria, Nezar. Forum Kominfo–Dewan Pers 2024.

• Santosa, Teguh. Rakernas JMSI 2024.

• Dewan Pers. Laporan Tahunan 2023.

• Tim Akademik Revisi UU Pers. Naskah Akademik Revisi UU 40/1999. 2024.

• Mahkamah Konstitusi RI. Putusan No. 38/PUU-X/2012.

• Fenomena UKW oleh organisasi pers non-PWI, 2018–2024.

• Arsip perkara pengujian UU Pers di MK, 2010–2024.

• Profil Xinhua News Agency & Vietnam News Agency. Laporan UNESCO 2021.

• Sjafri Sjamsuddin. Gagasan dalam Forum Kesejahteraan Jurnalis 2023–2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *