PWI Butuh Nakhoda Bukan Penonton

Oleh: Didi Kurnia *

Abdus Syukur memang tak banyak bicara. Tapi begitu ia bicara, kata-katanya tak perlu dikuat-kuatkan. Sudah cukup mengalir, dan terasa di ulu hati.

Tidak berapi-api. Tidak melambung-lambung. Tapi tenang. Dalam. Dan jujur.

“Yang kita butuhkan bukan yang paling terkenal. Tapi yang paling siap menjemput masa depan,” katanya datar. Tapi terasa menggugah.

Kalimat itu lahir bukan dari ruang rapat ber-AC. Tapi dari meja liputan. Dari lorong-lorong kantor redaksi kecil. Dari dapur berita yang kadang nyaris tanpa logistik.

PWI NTB memang sedang mencari nakhoda baru. Tapi bukan sekadar soal siapa yang duduk di kursi Ketua. Ini tentang arah. Tentang kembali pulang. Pulang ke rumah yang lama ditinggalkan.

Abdus Syukur—yang kini Wakil Ketua PWI NTB—tak menyebut visi-misinya dengan istilah mentereng. Ia hanya ingin satu hal:

PWI NTB kembali jadi rumah wartawan. Bukan menara gading.

Sudah terlalu lama, kata dia, PWI berdiri di podium—jauh dari wartawan yang ada di bawah. Terlalu banyak seremoni, terlalu sedikit empati.

Ia ingin menghapus jarak itu.

Menghapus sekat antara yang ‘besar’ dan yang ‘kecil’.

Antara yang sering tampil di layar, dan yang setiap hari berkeringat di lapangan.

Yang cetak maupun yang daring. Semua wartawan, semua harus merasa punya rumah.

Ia memang bukan pendatang baru. Wartawan senior. Penguji UKW. Ahli Pers di Dewan Pers. Pemilik sekaligus Pemimpin Umum Radar Mandalika. Tapi tak satu pun dari titel itu yang ia jadikan alat jual.

Ia justru datang dengan kesadaran: bahwa zaman sudah berubah, dan organisasi wartawan harus berubah pula.

“Jangan sampai PWI hanya jadi simbol. Ia harus jadi solusi,” katanya.

Visinya sederhana. Tapi terasa membumi. Ia menyebut lima pilar:

1. PWI sebagai Rumah Bersama

Terbuka. Bukan eksklusif. Semua media, semua wartawan, punya tempat di sana

2. Kepemimpinan yang Hadir dan Mendengar

Ia tidak mau hanya jadi penonton dari podium. Tapi ingin turun ke bawah. Duduk di lesehan redaksi, mendengar keluh kesah wartawan lokal

3. Transformasi Digital

Ia bicara soal pelatihan SEO, algoritma, monetisasi, dan engagement.

Wartawan NTB harus melek digital. Bukan hanya melek kode etik

4. Perlindungan dan Advokasi

PWI harus berdiri paling depan saat wartawan ditekan. Ia ingin bantuan hukum yang nyata. Bukan hanya ucapan bela sungkawa di WhatsApp grup.

5. Pemilu PWI sebagai Momentum Perubahan

Ia tidak mau pemilihan Ketua sekadar rutinitas lima tahunan. Tapi menjadi lompatan. Menjadi tonggak pembaruan.

Ia tidak menjanjikan yang muluk-muluk. Tapi menawarkan sesuatu yang selama ini dirindukan banyak wartawan: kehadiran. Dan harapan.

“Saya bukan yang paling populer. Tapi saya siap bekerja,” ujarnya pelan.

Mungkin ia bukan orator. Tapi dari caranya berbicara, kita tahu:

Ia bukan datang untuk sekadar menang.

Tapi untuk memulihkan. Untuk menyatukan. Untuk membenahi rumah yang retak pelan-pelan.

PWI NTB harus kembali jadi rumah wartawan.

Kalimat itu ia ulang-ulang. Seperti mantra.

Sesederhana itu. Tapi seperti kita tahu: kekuatan sesungguhnya kadang tersembunyi di dalam hal-hal yang sederhana.

Karena wartawan, pada akhirnya, butuh ruang untuk pulang.

Dan organisasi, bukan soal jabatan. Tapi soal tempat di mana nurani bisa disandarkan.

Bukan tentang baliho. Tapi tentang keberanian untuk berjalan kaki. Turun ke bawah. Mendengar suara-suara yang selama ini nyaris tak terdengar.

Dan barangkali, itulah yang membuat nama Abdus Syukur makin menguat. Ia tidak sedang menjual ambisi. Ia hanya ingin membenahi rumah. Yang lama dibiarkan kosong.

Karena berita bukan hanya tentang fakta. Tapi tentang keberpihakan kepada nurani. (*)

*Praktisi Media

Keterangan Foto:

Abdus Syukur (dokpribadi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *