(Tanggapan atas tulisan Wina Armada tentang debat klasik estetika versus makna)
Oleh: Arthur John Horoni, Budayawan
Tulisan sobat Wina ikhwal puisi itu bukan perkara baru tapi tetap menarik dan mengundang perbincangan. Soal bentuk atau isi, estetis atawa substantif, pilihan kata, diksi, irama atau makna, menjadi wacana esei atau kritik sastra sejak, Angkatan 45, Gelanggang, Lekra, Manifes Kebudayaan/Angkatan 66, Puisi Tempe sampai ke puisi zaman now alias pujangga medsos…
Saya menulis puisi, kalau pakai istilah Medan: suka hatilah! Terserah orang mau bilang apa. Tak terperangkap dalam rumusan, aliran, dst, dst.
Tapi dari pengalaman panjang menikmati puisi, sebagai pembaca dan deklamator, redaktur sastra siaran radio swasta, kemudian menulis beberapa puisi, saya menandai puisi (lepas dari bentuk dan rumusan estetika), secara substantif/ maknawi senantiasa mewakili suara zamannya. Terutama mencoba mencuatkan kepermukaan suara kawula yang bungkam. Dari sisi ini, puisi kemudian bisa dianggap memprovokasi. Bahkan dimasa orla dan orba distigmatisasi sebagai subversif.
Lekra menggadang-gadangnya sebagai realisme sosialisasi, sedangkan pihak yang lain mengagungkan humanisme universal. Persamaannya, kedua aliran itu dalam pandangan penguasa yang berbeda, dianggap memprovokasi atawa subversif. Karenanya “ditakuti” penguasa yang mengutamakan stabilitas politik.
Ada pengalaman yang bagi saya menggelitik: pada masa jadi pelajar SMA di Manado tahun 60-an, ketika mau mendeklamasikan sajak Krawang-Bekasi, Chairil Anwar, panitia menyensor dulu ungkapan, menjaga Bung Karno, menjaga Bung Hatta, menjaga Bung Syahrir. Kita paham, Bung Karno menganggap Bung Hatta dan Bung Syahrir sebagai lawan politiknya. Celakanya, sastra kena getahnya, puisi mesti disunat.
Tersebutlah, tahun 1973, saya pindah dari Surabaya ke Jakarta, menjadi penyiar Radio ARH Jakarta. Menjelang peristiwa 15 Januari 1974, untuk mendukung gerakan mahasiswa yang melakukan koreksi terhadap rezim orba, kami menyampaikannya melalui puisi. Teman-teman menugaskan saya membaca puisi-puisi Taufiq Ismail dari kumpulan Tirani dan Benteng, direkam dan disiarkan berulang-ulang. Akibatnya sejak 16 Januari 1974 Radio ARH dibredel/ditutup tak boleh siaran. Untunglah Radio BBC siaran Indonesia dari London menyiarkan nasib Radio ARH, dan sepekan kemudian boleh siaran lagi.
Bagi saya ini pembelajaran sebuah paradoks. Tirani dan Benteng, puisi-puisi perlawanan Taufiq Ismail yang ditulis sekitar peristiwa 1965 – 1966, yang jelas-jelas mendukung gerakan mahasiswa mendongkel Sukarno dan mendukung Suharto, kok tiba-tiba mendapat pemaknaan yang berbeda tatkala dibaca ulang jelang peristiwa malari. Ternyata puisi dianggap memprovokasi, karena itu subversif, jadi ditakuti penguasa, dan mesti dilarang.
Karena itu saya gembira Antologi Kaki Langit Puisi-puisi Tempe, bisa terbit, tidak kena bredel, malah disambut Mochtar Lubis sebagai puisi kaum muda yang berani bersuara sebagai kesaksian zaman. Anda boleh baca puisi-puisi subversif dalam kumpulan itu, yang lulus dari timbangan Taufiq Ismail dan Remy Sylado.
Yakinlah, provokasi, subversi, radikal itu kata-kata
yang yang positif, tapi kita suka memaknai negatif
Jadi tak perlu repot kan? Puisi yang mewakili isi kalbu manusia yang memperjuangkan nasibnya untuk menikmati keadilan, adalah sekaligus puisi yang indah.
Tabik😇🙏