Oleh Muhammad Akhyar Adnan*
Siapapun yang hari ini melek info, apalagi yang berkecimpung di dunia pendidikan tinggi, tentu mendengar kehebohan ulah sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN), terutama yang bersifat Badan Usaha (PTN-BH) ketika mereka secara tiba-tiba menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Berdasarkan info yang beredar, kenaikan UKT itu juga bervariasi, tetapi umumnya signifikan, alias cukup besar. Konon ada yang dua kali lipat sampai ada yang sepuluh kali lipat. Maka tidak heran kalau mahasiswa meradang.
Terkait masalah tersebut, Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek RI pada 21 Mei 2024 dipanggil Komisi X DPR untuk membahas masalah yang menyesakkan dunia pendidikan ini.
Secara makro dan nasional, tentu kita ikut prihatin, karena kebijakan tersebut terasa aneh sekaligus paradoks dengan apa yang selama ini didengung-dengungkan, seperti hak pendidikan bagi warga negara sampai dengan impian mencapai “Indonesia Emas” di tahun 2045 nanti.
Tetapi, secara mikro dan sekaligus bila menggunakan perspektif Perguruan Tinggi Swasta (PTS), maka kenaikan UKT yang meresahkan para mahasiswa itu adalah sebuah peluang. Lalu, peluang apa yang dapat diraih di balik semua kisruh ini?
Rasanya dapat dicatat beberapa hal sebagai berikut. Pertama, munculnya masalah ini dapat membangun kesadaran masyarakat bahwa pendidikan memang bukanlah jasa yang murah.
Beruntunglah mereka yang selama ini berkesempatan mendapatkan pendidikan di PTN, karena mereka mendapatkan pendidikan dengan subsidi yang relatif besar.
Info ini sesunguhnya sudah lama penulis dengar. Misalnya saja bahwa setiap mahasiswa yang kuliah di PTN, rata-rata mendapat subsidi sekitar Rp20 juta per semester, dan dapat dibayangkan betapa besar nilainya secara agregat nasional.
Namun, tidak ada analisis lebih jauh tentang besaran subsidi sekaligus efektifitas sarjana yang dihasilkan. Misalnya, betapa banyak mereka yang kemudian hari justru tidak bekerja di bidang yang mereka kuasai.
Sekadar contoh sederhana, sangat banyak sarjana eksakta yang berlatar belakang teknik/teknologi seperti teknik sipil, kimia, biologi, geologi, bahkan kedokteran dan banyak lagi malah bekerja di luar bidang keahliannya.
Artinya, di sini terjadi pemborosan sekaligus penyimpangan anggaran yang rasanya belum pernah mendapatkan perhatian samasekali, kecuali dalam bentuk plesetan seperti, maaf, Institut Perbankan Bogor (untuk IPB), atau Institut Teknologi [per]Bankan (untuk ITB).
Kedua, akan terjadi persaingan yang lebih “sehat” antara PTN dan PTS. Sebagaimana diketahui bahwa PTS selama ini berjuang tanpa mendapatkan subsidi Pemerintah.
Dulu ada secuil subsidi dalam bentuk Dosen yang Dipekerjakan (DPK), artinya gaji dosen PTS dibayar oleh negara karena para dosen tersebut pada hakekatnya adalah PNS yang ditempatkan di PTS. Selain jumlahnya sangat sedikit, konon kebijakan tersebut sudah tidak lagi berlangsung.
Dalam konteks yang lebih luas, bila PTS dapat beroperasi dengan efisien, maka mereka akan dapat ‘mengalahkan’ PTN yang mungkin selama ini sudah terbiasa ‘terbuai’ dengan subsidi Pemerintah.
Patut dicatat bahwa selama ini PTN sangat menikmati berbagai hal dibandingkan PTS. Ini meliputi dan tidak terbatas kepada anggaran negara sepenuhnya dan promosi dengan status PTN-nya. Sesungguhnya tanpa beriklan sama sekali, dapat dipastikan PTN akan selalu menjadi incaran calon mahasiswa cerdas dan berduit.
Ini berbeda dengan PTS yang harus berjibaku beriklan dengan biaya mahal dan berjibaku untuk mendapatkan sisa calon mahasiswa yang tidak lolos dalam jaringan PTN ‘ternama’. Belakangan PTN bahkan pernah diresahkan dengan berbagai program seperti jalur mandiri, dan mereka juga ‘merebut’ calon mahasiswa berduit. Tinggallah PTS dengan segala masalah dan penderitaannya.
Ketiga, dengan adanya ‘persaingan’ harga antara PTN vs PTS akan terjadi ‘pemerataan’ kualitas input Perguruan Tinggi (PT). Selama ini calon mahasiswa pintar akan cenderung memburu PTN top, dengan pertimbangan (selain nama besar), bahwa uang kuliah atau UKT-nya murah.
Hasilnya, para calon mahasiswa yang masuk ke PTS adalah mereka yang suka tidak suka sudah masuk kategori bukan yang terbaik lagi secara akademik, untuk tidak menyebut kelas kedua, karena kelas satu sudah diborong oleh PTN dengan segala kelebihannya.
Ke depan, dengan UKT yang lebih kompetitif, calon mahasiswa yang cerdas dapat mulai mempertimbangkan PTS, karena sudah cukup banyak PTS yang memiliki akreditasi baik atau bahkan unggul. Di masa yang akan datang pula saatnya dibuka peluang yang lebih terbuka dan berimbang antara PTN dan PTS.
Jangan ‘lindungi’ PTN secara berlebihan, dan berikan kesempatan kepada PTS untuk tumbuh dalam suasana yang lebih kompetitif. Seperti halnya di Amerika, justru banyak PTS yang mengungguli PTN. Harvard University, Princeton University, University of Pensylvania, Norwestern University dan Stanford University adalah beberapa contoh PTS beken yang fenomenal.
Keempat, bahwa ini kesempatan besar bagi PTS untuk mendapatkan mahasiswa baru dalam jumlah yang lebih besar setelah adanya keluhan merata untuk beberapa program studi yang mengalami penurunan dalam beberapa tahun ini, baik karena dampak pandemi Covid-19 maupun karena melemahnya ekonomi serta daya beli masyarakat.
Dalam kaitan ini, bila PTS mau melancarkan marketing yang lebih gencar, maka tidak mustahil bahwa mereka akan mendapatkan kesempatan (menaikkan jumlah mahasiswa baru) dalam “kesempitan” ini.
Sekadar saran tambahan untuk Pemerintah yang suka tidak suka masih memegang peranan penting dalam dunia pendidikan di negara ini adalah bahwa lakukanlah perubahan kebijakan dalam bentuk yang lebih bijak serta terbuka dengan memperhatikan suasana makro.
Perubahan adalah sebuah keniscayaan untuk bisa survive dan tumbuh. Namun, gunakanlah empati yang lebih luas, karena negara dan masyarakat kita sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
* Dr. Muhammad Akhyar Adnan, MBA., Ak. adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi Jakarta.