Bukan Pilkada, Tapi Rasanya Sama

Kadang saya berpikir: wartawan itu memang makhluk unik. Saat meliput Pilkada, mereka objektif. Tapi saat pemilihan ketua organisasi sendiri, mereka bisa lebih politis dari politisi.

Itulah yang terjadi saat ini di NTB. Pemilihan Ketua PWI NTB, organisasi wartawan, tapi suasananya nyaris seperti Pilkada. Bahkan lebih rapi. Lebih tenang. Lebih berstrategi. Tanpa keributan, tapi tetap dengan manuver.

Tiga kandidat muncul ke permukaan. Bukan pendatang baru. Semuanya pernah mencicipi panasnya deadline dan dinginnya ruangan redaksi. Ada Abdus Syukur, wartawan senior yang kini lebih banyak jadi mentor. Ada Nasrudin, calon petahana, ketua PWI 2020-2025. Dan ada Ikliluddin, yang diam-diam juga sudah keliling kampung wartawan.

Pulau Sumbawa jadi rebutan. Karena memang di situlah suara paling banyak berkumpul. Di sana, suara wartawan bisa berubah menjadi gelombang. Siapa yang bisa menyentuh hati wartawan-wartawan di Sumbawa, besar kemungkinan bisa membawa pulang kursi ketua.

Maka terjadilah “politik tenda biru” versi wartawan. Duduk-duduk di warung kopi, bahas visi misi sambil goreng isu. Visi misi tak dibacakan di atas podium, tapi diceritakan sambil menepuk pundak: “Kita sama-sama paham, kan, bro?”

Silaturahmi menjadi alat kampanye yang paling sah. Tak ada APK (alat peraga kampanye), tapi ada WA pribadi, obrolan tengah malam, dan ajakan halus yang kadang lebih dalam dari poster besar.

Yang membuat saya tersenyum, wartawan, yang sehari-hari mencium bau intrik politik, kini jadi bagian dari skenarionya sendiri. Bukan lagi jadi pengamat, tapi pemeran.

Tak ada yang salah. Bahkan justru ini menarik. Karena dari sinilah kita bisa lihat siapa wartawan yang bisa mengelola organisasi dengan hati dan siapa yang cuma jago menulis berita, tapi gagap saat berhadapan dengan realitas manajemen.

PWI butuh pemimpin. Bukan sekadar ketua yang rajin datang rapat. Tapi yang bisa bikin organisasi ini punya napas panjang. Yang bisa menjadikan wartawan NTB tak lagi “numpang” di gedung orang, tapi punya rumah sendiri—walau sederhana.

Siapa yang menang, kita lihat nanti. Tapi satu hal yang pasti: pesta demokrasi wartawan ini, meski kecil, menunjukkan bahwa wartawan pun bisa bersaing dengan santun, beradu gagasan dengan jujur, dan—kalau perlu—menang tanpa harus menikam. Ah, andai Pilkada bisa seperti ini. (abdus syukur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *