Oleh: Susanti (NTBNOW.CO)
URUSAN kawin di Lombok bisa menjadi masalah besar. Bahkan bisa terjadi konflik antarkampung. Salah satu penyebabnya tradisi nyongkolan. Salah satu pihak yang kerap disorot adalah peran polisi di dalam acara adat ini. Dalam kondisi pro kontra dan banyaknya sorotan, polisi tetap memegang prinsip presisi.
Sebuah video viral di media sosial. Beberapa anggota polisi diserang secara psikis dengan kata-kata oleh sejumlah orang. Salah satu anggota polisi Wanita (polwan) bahkan disumpahi. Polwan itu tetap tenang dan menjelaskan dengan sabar.
Bahwa apa yang dilakukannya itu semata menjaga kamtibmas.
Polwan dan beberapa anggota polisi itu melarang iring-iringan pesta kawinan (nyongkolan) yang hendak masuk kampung. Dalam tradisi iring-iringan pengantin sudah biasa mempelai diarak di jalan menuju rumah pengantin Perempuan.
Masalahnya iring-iringan itu membawa alat musik kecimol. Sejenis band modern dengan berbagai tambahan alat musik. Kampung yang akan dimasuki oleh iring-iringan itu memiliki aturan adat setempat (awiq-awiq) yang melarang iringan pengantin membawa kecimol.
Selain kecimol dianggap bukan budaya sasak, atraksi para penyanyi dan penari kecimol sering disorot terlalu vulgar.
Di hari lain, anggota polisi sedang mengawal iring-iringan nyongkolan. Terjadi kemacetan. Anggota Bhabinkantibmas yang menjaga mengatur kendaraan dan iringan pengantin. Beberapa pengendara mengomel. Di media sosial ramai soal ini. Polisi yang tidak tegas mengatur iringan nyongkolan yang bikin macet jalan. Polisi lagi-lagi menjadi sasaran.
Di waktu lain, sejumlah warga demo yang berujung anarkis di sebuah kantor desa di Lombok Timur. Mereka adalah pendukung kecimol. Di lain pihak ada juga yang kontra. Dalam posisi ini, polisi berada di Tengah-tengah.
Menjadi polisi, khususnya Polantas dan Bhabinkantibmas di Lombok memang harus selalu tenang, netral dan tetap menjaga semangat presisi. Misalnya dalam kasus kecimol. Ada kelompok yang kontra dengan kecimol seperti punya awig-awig, maka tugas polisi menghormati aturan itu. Di satu sisi masyarakat yang menggunakan kecimol juga harus dihormati oleh anggota polisi.
Bahkan mereka ikut mengawal.
Begitu juga terjadi desakan dari berbagai kelompok masyarakat agar polisi menangkap penyanyi dan penari kecimol yang erotis. Polisi tetap presisi dan tentu saja paling utama menjaga kamtibmas. Di lain waktu, ratusan personel kecimol juga datang demo agar dihormati hak-hak mereka berkesenian dan mencari penghidupan dari jalur itu.
Aiptu I KETUT SAMIADA Ps. KASPKT I Polsek Pringgarata yang punya banyak pengalaman mengatur acara adat Sasak ini mengatakan tugas sebagai polisi tetap menjalankan pengamanan untuk mencegah terjadinya hal hal yang tidak diinginkan seperti keributan.
Contohnya saling senggol sedikit berujung ribut saat nyongkolan. Dari pihaknya juga selalu berkolaborasi untuk mengatur ketertiban itu Bersama badan keamanan desa (BKD), pihak keluarga mempelai.
Terkait tugas sebagai Babinkatibmas pro kontra adanya kecimol di Lombok tidak masalah. Di satu sisi kita mendukung tapi dengan konteks berkesenian dengan baik, tapi kan ada masyarakat yang kontra juga terhadap kecimol ini, posisi polisisi berada di Tengah. Tidak memihak salah satu diantaranya.
“Ketika ada masyarat yang nyongkolan pakai kecimol kita mengamankan.Ketika masyarakat yang kontra menolak kecimol masuk ke tempat tertentu sehingga berujung protes beberapa pihak kita amankan juga” katanya.
Nyongkolan ini bukan semata di desa-desa di Lombok. Bahkan di Kota Mataram yang menjadi ibukota provinsi pun kerap ada nyongkolan. Tentu konteksnya sangat berbeda. Jika di desa-desa relatif masyarakat homogen, sementara di kota sangat beragam. Tantangan polisi semakin berat.
Kasat Lantas Polresta Mataram AKP Yozana Fajri Sidik AF mengatakan pihak kepolisian selalu presisi karena itu menjadi tolak ukur dari kapolri. Presisi artinya (Prediktif dan responsibilitas), secara cepat dan tepat, responsif, humanis, transparan, bertanggung jawab, serta penyelesaian persoalan problem solvingnya, kemudian juga tidak lepas dari asas peradilan.
Kemudian untuk budaya kecimol dan nyongkolan, kecimol itu sendiri adalah kesenian tapi dikemas lebih moderen, Dari pihak polisi tetap mendukung selama kegiatan yang dilakukan positif. Jika ada perbedaan pendapat, karena ini menyangkut kesenian, maka polisi berharap persoalan itu bisa duduk bersama dibahas, karena tugas polisi adalah mengamankan jika suatu saat ada iringan nyongkolan. Entah itu memakai kecimol, gendang beleq, atau mungkin bentuk musik lainnya.
“Silakan dari pihak masing masing pengurus budaya diselesaikan dengan baik,” katanya.
Bagaimana dengan laporan selama pengaman adat dan budaya?
AKP Yozana mengatakan untuk sejauh ini belum ada, dan dipastikan aman. Dia berharap ke depannya biar lebih aman nyaman dan tertib pada saat menyelenggarakan kegiatan budaya kecimol, nyongkolan atau lain lain dapat berkoordinasi dengan polsek setempat.
Di polsek setempat ada kanit lantas. Di polsek itu bisa berkolaborasi baik itu dengan Babainsa dan Babinkamtibmas sehngga kegiatan itu bisa didampingi dan tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.S
“Secara umum tidak pernah ya kita mendapatkan laporan berita-berita seperti apa, cuman mungkin ini viral di kalangan umum dan masyarakat. Kalau kami, Insya Allah apalagi kegiatan adat dan kebudayaan di lombok ini kami pasti kami dukung,’’ katanya.
Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Asosiasi Kecimol NTB Amaq Mila mengapresiasi terhadap polisi yang netral dalam menyikapi adanya pro kontra kecimol di tengah masyarakat. Menurutnya, pelaku kesenian kecimol terbantu sekali dengan kehadiran pihak polri untuk melakukan pengaman tehadap setiap prosesi yang menyertakan kecimol di tengah tengah masyarakat.
“Untuk masalah pro dan kontra polisi kan harus presisi mengambil posisi netral dalam hal ini” katanya.
Ketika masyarat membutuhkan kecimol untuk hajatan nyongkolan, sunatan atau hajatan lainnya yang diterima masyarakat setempat maka pihak kepolisian harus mengikuti protap pengamanan untuk mengamankan berlangsungnya pengamanan acara tersebut. Tapi bagi masyarakat yang kontra terhadap kehadiran kecimol di kampung atau di desa setempat polisi juga harus netral, menjaga situasi kamtibmas yang ada di sana.
“Kami bisa memahami anggota kami yang 235 grup di AKA NTB ini bisa memahami tentang kontranya Masyarakat tersebut. Oleh karena kekhawatiran mereka terhadap hal hal yang menjadi tabu dalam norma susila suku Sasak,’’ katanya. Amaq Mila berharap netralitas dari semangat Presisi Polri tehadap seni budaya kontemporer budaya Sasak ini tetap dijaga. (*)