Oleh: Hendry Ch Bangun
Apa kabarnya? “Saya baik-baik saja. Alhamdulillah.”
Begitu saya menjawab kalau ada teman yang bertanya, entah karena lama tidak berjumpa, atau mendengar berbagai kabar berita tentang saya. Saya akan tersanjung begitu ada yang bilang, “Wajahnya cerah dan kelihatan awet muda.”
Sambil dalam hati menjawab, “Lha iya lah. Apa yang harus dipikirkan. Jalani saja dengan hati senang dan ihlas.” Saya baca di Instagram, ada tulisan begini. “Memikirkan masa lalu, tidak ada gunanya. Mencemaskan masa depan, merusak kebahagiaan masa kini. Nikmati saja, karena hari ini adalah hadiah. Oleh karena itu disebut present (dalam Bahasa Inggris).”
Ya, saya sejauh ini sehat karena karuniaNya. Tekanan darah normal. Degup jantung tidak ada kelainan. Gula darah, ya kadang naik sedikit ketika mendadak kebiasaan minum kopi pahit, ditimpa dengan keinginan untuk mencicipi rasa manis.
Kalau tidur cukup, artinya di atas empat jam, masih sanggup berjalan kaki menjelang matahari muncul antara 35-45 menit. Mengelilingi komplek, ke arah kampung tetangga yang masih rimbun, untuk menghirup udara segar. Kadang bertemu tetangga yang berolahraga pagi juga. Kadang pula ketika melihat di warung ada jagung, ubi, kentang, timun, saya beli untuk bahan sarapan.
Hidup sehat itu perlu karena itu kewajiban. Apalagi kalau umur semakin bertambah dan kekuatan tubuh berkurang. Saya masih percaya pada ungkapan, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Sebab sel-sel otak kita masih bisa diajak berpikir rasional dan teratur.
Tentu saja sebagai manusia kita masih kerap dilanda emosi, lalu emosional menanggapi sesuatu. Normal saja, karena kita bukan malaikat yang tidak memiliki perasaan. Ya lampiaskan saja secara sehat. Konon banyak caranya, tinggal cari tahu melalui mesin pencari atau akun di media sosial. Ya berjalan kaki. Ya menarik nafas panjang. Minum air putih. Macam-macam.
Emosi kalau tidak dikelola, ya merusak diri sendiri. Memikirkan hal-hal negatif sama saja secara sengaja minum racun sedikit demi sedikit. Lama-lama porsi sel buruk akan melebihi sel baik di otak kita. Lalu apa-apa dilihat dari sisi gelapnya saja. Tidak terbuka pada pandangan lain. Merasa benar sendiri. Bahkan menanamkan ke pikiran orang lain bahwa saya lah yang benar. Narasi dan tafsir saya lah yang benar.
Dan itu banyak terlihat di dunia ini. Hanya karena tua, dia merasa paling benar. Hanya karena kesohor merasa dia yang benar. Melihat keadaan seperti itu saya hanya berucap, Astagfirullah. Semoga Allah SWT masih sempat menyadarkan dia kelak. Sebelum dicabut nyawanya. ***
Dunia yang kita jalani sekarang ini, menurut salah satu puisi Sapardi Djoko Damono, adalah dunia baja. Keras. Tetapi tentu kita tidak boleh ikut terbawa oleh kekerasan itu. Memiliki jiwa, hati, justru manusia mencoba menciptakan sebuah dunia yang manusiawi. Dunia yang ramah. Dunia yang nyaman. Dunia yang dikonsep sebagai milik bersama. Saling menghargai dan tidak menjadikannya arena gontok-gontokan.
Kalaupun Anda disikat, dihajar, dizalimi, ya terus berusaha untuk meredamnya, agar tidak ikut rusak. Kalau rusak, yang rugi diri sendiri. Soal ini saya teringat Sapardi, dosen dan pembimbing saya semasa kuliah di Fakultas Sastra UI. Dia dosen baik, yang menerima kapan saja kalau kami datang sekadar ngobrol di rumahnya, waktu itu masih kontrakan di bilangan Kayu Putih Rawamangun, ataupun ketika sudah pindah ke Depok.
Obrolannya tentang suasana kampus yang kurang nyaman. Rektor Nugroho Notosusanto, gurubesar yang juga jenderal TNI, menjadi antitesis rektor sebelumnya Mahar Mardjono, yang dekat dan mau menerima sikap kritis mahasiswa. Bukan hanya mahasiswa, dosen pun ikut merasa kurang bebas karena sikap rektor yang keras pro pemerintah, tidak lagi menjunjung kebebasan akademis. Apa kata Pak Sapardi?
“Jangan ambil hati. Berapa lama sih umur kekuasaan mereka? Akan ada waktunya mereka selesai. Ya mudah-mudahan penggantinya akan lebih baik.”
Waktu itu tentu saya bersikeras untuk mengambil sikap berseberangan. Melawan dan melawan. Dengan demo. Menyegel ruang kuliah di kampus. Tetap saja kekuasaan Soeharto bertahan dan perlu banyak tahun untuk melihat kemudian Orde Baru tumbang pada tahun 1998, karena ketika menjadi mahasiswa bimbingan Sapardi Djoko Damono, saya sudah lulus tahun 1982 dan menjadi wartawan ketika terjadi Orde Reformasi.
Tetapi apa yang dipikirkan Sapardi soal keihlasan, kesabaran itu membuat saya berpikir, kadang kita harus “rileks” melihat kehidupan yang keras. Sebagai manusia kita selalu merasa bahwa kita dapat mengatur alam. Yakin rencana akan berjalan sesuai skenario. Lupa bahwa semua sudah ada yang mengaturnya. Silakan buat perencanaan, tetapi apa yang terjadi adalah milikNya.
Tentu tidak pasrah. Tidak diam. Melakukan segala sesuatu yang perlu. Menjalankan tugas-tugas dan kewajiban sebagaimana seharusnya. Mengantisipasi masalah. Bekerja keras, untuk memantaskan diri menerima hasilnya. Apapun yang diberikan.**
Saya baik-baik saja. Ada yang menuduh saya koruptor, bahkan melabelnya. Oh iya. Sejak kapan pengadilan memutuskan saya korupsi dan bisa dijuluki koruptor? Saya pun sudah melaporkan ke polisi dua orang yang menyatakan di saluran medsos mereka soal julukan ini. Saya sudah diperiksa juga banyak saksi-saksi dan tinggal menunggu waktu orang itu ditetapkan sebagai tersangka apabila sudah gelar perkara.
Berita-berita di media massa pun sudah saya laporkan ke Dewan Pers, dan ada belasan media yang diwajibkan memberi hak jawab. Karena mereka ini memuat berita tidak terkonfirmasi, menghakimi, dari orang-orang yang menyebut diri “beretika”. Saya heran, bikin rilis sepihak kok merasa beretika. Tidak cek dan ricek kok merasa beretika. Tidak tabayun kok merasa benar soal etika. Tetapi saya tidak heran, 10 tahun mengurus etika di organisasi profesi tidak berarti orang tersebut beretika. Sudah bawaan lahir barangkali. Inilah yang disebut mati ketawa cara Rusia.
Ada juga yang “disarankan” Dewan Pers untuk ditindaklanjuti dengan UU lain, artinya pidana pencemaran nama baik. Sedang saya pikirkan juga. Memenjarakan wartawan bagi saya tidak enak. Tetapi kondisi sekarang bisa menuju ke arah sana. Sebab banyak sekali wartawan yang sejak awal menulis dengan niat buruk. Niat merusak reputasi seseorang. Tidak ada upaya konfirmasi. Mencari kebenaran dua versi, setidaknya. Jadi kalau nanti ada yang masuk bui, itu karena kemauan wartawan itu sendiri, sengaja atau tidak.
Yang saya sayangkan, banyak orang mengaku wartawan, dan mengatakan sudah puluhan tahun menjadi wartawan, tidak mengecek informasi yang diterimanya. Langsung percaya. Bahkan langsung menuduh, menuding, mengecap, melabel. Apakah karena sejak muda dia menjadi wartawan jadi-jadian? Terus, apa dong arti pendidikan yang tinggi, jabatan yang tinggi di medianya dulu? Atau sudah pikun? Karena ingin mendapat jabatan untuk previlese? Banyak jawabannya. Ada juga yang karena ingin kecipratan uang karena dulu saat menjabat biasa main proyek kegiatan.
Ya, saya hanya bisa menarik nafas panjang. Kembali ingat. Hidup hari ini untuk dinikmati saja, jalani dengan baik. Ingat umur yang kita tidak tahu kapan berakhirnya. Bertobat kalau merasa memfitnah orang lain supaya dosanya tidak terbawa mati.
Que sera-sera, begitu dinyanyikan Doris Day dulu. Apa yang terjadi, terjadilah. Bukan kita yang mengatur menjadi apa kita kelak. Sayang udara pagi yang segar. Angin pagi yang sejuk, dilewatkan dengan pikiran kotor dan amarah. Sabaar.
Wallahu a’lam bishawab.
Ciputat, 21 September 2024.