Oleh: Dr Kurtubi
Amerika Serikat kini telah menjelma menjadi produsen migas terbesar di dunia, mengalahkan OPEC Plus (Arab Saudi, Rusia, dan lainnya). Keberhasilan ini didukung oleh penerapan teknologi eksplorasi dan produksi oil shale yang telah terbukti efektif. Namun, kondisi ini berbanding terbalik dengan situasi di Indonesia, di mana produksi migas terus menurun setiap tahun selama dua dekade terakhir, dan target lifting dalam APBN kerap gagal tercapai.
Ketahanan Energi Indonesia yang Lemah
Indonesia saat ini menghadapi situasi yang kritis. Ketergantungan pada impor migas dalam jumlah besar menunjukkan lemahnya ketahanan energi nasional. Salah satu akar masalah ini adalah kehadiran UU Migas No. 22 Tahun 2001, yang menggantikan UU Migas No. 44/Prp/1960 dan UU Pertamina No. 8/1971.
UU Migas No. 22/2001 yang disahkan atas rekomendasi IMF dianggap sebagai undang-undang yang sangat merugikan negara. Belasan pasal dalam UU tersebut bahkan telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, hingga kini, undang-undang tersebut masih diterapkan.
Masalah Tata Kelola Migas
UU Migas No. 22/2001 menciptakan sistem tata kelola migas yang buruk, yang tidak menarik bagi investor. Salah satu pasal kontroversialnya adalah Pasal 31, yang mewajibkan investor membayar pajak dan PNBP saat masih berada pada tahap eksplorasi, bahkan sebelum mencapai tahap produksi. Sistem ini bertentangan dengan prinsip kontrak bagi hasil yang ideal. Selain itu, perizinan untuk eksplorasi harus diurus langsung oleh investor, baik asing maupun dalam negeri, yang memperumit proses investasi.
Amerika dan Kebijakan Migas
Di sisi lain, Amerika Serikat berhasil memanfaatkan sumber daya alam migasnya secara maksimal. Presiden Amerika yang baru dilantik kerap mengeluarkan kebijakan strategis untuk mengoptimalkan cadangan migas yang besar, sehingga sumber daya ini tidak terpendam sia-sia di perut bumi. Bahkan, Amerika kini kembali keluar dari Paris Agreement on Climate Change untuk memprioritaskan kebutuhan energinya.
Meski demikian, Amerika tetap konsisten menggunakan energi bersih non-fosil, seperti energi nuklir. Saat ini, Amerika memiliki 95 unit PLTN yang menghasilkan listrik bebas emisi karbon dan polutan seperti SOx, NOx, serta debu. Kondisi ini berbeda jauh dengan Indonesia yang masih bergantung pada PLTU batubara, yang menjadi salah satu penyebab utama buruknya kualitas udara di Jakarta.
KESIMPULAN
Perlu langkah strategis untuk mengoptimalkan potensi SUMBER Daya Migas dengan segera Mencabut UU Migas No.22/2001 oleh PRESIDEN Prabowo Subianto dengan mengeluarkan PERPPU. UNTUK menghilangjan ketergantungan pada Energi Migas import sekaligus meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi. Meski Indonesia sudah meratifikasi Paris Agreement on Climate Change menjadi UU No16/2016, Energi Migas Nasional Masih bisa DIPAKAI semasa Transisi Energi hingga Tahun 2060. Setelah Tahun 2060, Migas dikonvesrsi menjadi Produk PETROKIMIA yg juga dibutuhkan oleh ekonomi dunia.
* Dr Kurtubi — Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014-2019. Alumnus FEU Jakarta, IFP Perancis dan CSM Amerika. Mantan Pengajar Ekonomi Energi Pasca Sarjana FEU dan Universitas Paramadina)