Tradisi Memarek di Ranggagata, Komitmen Cinta yang Tak Lekang oleh Zaman

Oleh: Abdus Syukur, SH

Di tengah gempuran modernisasi, masyarakat Desa Ranggagata, Kecamatan Praya Barat Daya, Lombok Tengah, masih memegang teguh tradisi pranikah bernama Memarek. Ya, Memarek bukan sekadar romantisme budaya. Lebih dari itu, ia adalah simbol komitmen, uji keseriusan, sekaligus penguat kohesi sosial yang diwariskan lintas generasi.

Tradisi ini dimulai jauh sebelum sepasang kekasih melangkah ke pelaminan. Ada serangkaian proses bertahap, mulai dari Ngujang, Mertak, hingga puncaknya: Memarek. Setiap tahap membawa makna tersendiri, sarat simbol dan nilai sosial. Ngujang biasanya dilakukan pemuda dengan memberikan makanan atau minuman seperti kopi, es mambo, atau jajanan pasar kepada wanita pujaan hati. Ini bukan sekadar “kode cinta”, melainkan bentuk penghormatan dan pengenalan awal kepada keluarga si gadis.

Lalu datanglah momen Mertak, aksi penuh keberanian yang biasa terjadi di pesta malam. Sang pemuda akan “memborong” dagangan gadis penjaja, lalu menyatakan cintanya secara terbuka. Ini bukan cuma soal nyali, tapi juga kemampuan ekonomi. Puncaknya adalah

Memarek, kunjungan resmi dari pihak pria ke rumah wanita, biasanya dilakukan menjelang Idul Fitri atau sebelum pernikahan gaya Sasak: merariq. Uniknya, yang datang justru rombongan perempuan dari pihak pria, membawa buah tangan berupa pisang, telur, roti, dan minuman. Jumlah dan jenis buah tangan yang dibawa biasanya merepresentasikan status sosial sang pemuda.

“Kalau zaman dulu, makin banyak rombongannya, makin tinggi status sosialnya,” ujar Ustazah Rohini, salah satu pelaku kepada ntbnow.co. “Sekarang sudah lebih fleksibel, tapi nilai simboliknya tetap ada.”

Tradisi ini tak lahir di ruang hampa. Sejarah panjang Lombok yang pernah dijajah Kerajaan Karangasem Bali dan kemudian kolonial Belanda turut mewarnai perkembangan budaya Sasak. Namun menariknya, Memarek tetap bertahan. Bahkan, mampu beradaptasi. Dulu, buah tangan hanya berupa pisang dan kue tradisional. Kini, Sprite, roti Marie, dan telur ayam pun masuk daftar persembahan. “Itu bentuk adaptasi. Tapi struktur ritualnya tidak berubah. Intinya, menyatakan keseriusan dan membawa pesan damai,” ungkap salah satu pemuda menjalani prosesi Memarek.

Yang menarik dari Memarek adalah peran perempuan. Mereka bukan hanya penerima tradisi, tapi juga aktor penting yang menjembatani nilai, menjadi pengantar dan sekaligus peneguh hubungan dua keluarga. Dalam bahasa akademik, mereka berperan sebagai mediator kultural—penghubung antara cinta pribadi dan legitimasi sosial.

Apa yang tampak sebagai prosesi budaya, sebenarnya adalah sistem sosial yang kompleks. Dari Ngujang* hingga Memarek, tersirat pesan tentang hierarki sosial, keberanian, dan komitmen. Tradisi ini bisa dilihat sebagai cara masyarakat mengontrol lembaga pernikahan secara kolektif. Bagi masyarakat Sasak, menikah bukan hanya urusan dua individu, tetapi peristiwa sosial yang melibatkan keluarga, tetangga, dan komunitas. Dalam konteks ini, Memarek menjadi “institusi informal” yang menjaga nilai, struktur, dan kohesivitas komunitas.

Di era yang serba instan, Memarek mengajarkan bahwa cinta butuh waktu, proses, dan pengakuan sosial. Ia adalah bukti bahwa tradisi lokal tak selalu harus kalah oleh zaman. Justru di situlah kekuatannya: mampu beradaptasi, tanpa kehilangan ruh budaya. (**)

Keterangan Foto;

Abdus Syukur (dok pribadi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *