Oleh: HM Syukur, SH
“Masa berita begini disuruh take down?” tulis Fia, seorang jurnalis muda, dalam pesan singkat ke ponsel saya pada Sabtu pagi. Di balik kata-katanya, tersirat kegelisahan antara menjaga prinsip dan menghadapi tekanan yang semakin tidak masuk akal.
“Menurut Pak Aji gimana?” lanjutnya. Bagi saya, itu bukan sekadar pertanyaan. Itu adalah jeritan nurani seorang wartawan yang tengah berhadapan dengan lembaga yang tak nyaman disorot media. Fia tengah memburu fakta kematian seorang korban dalam situasi yang tidak wajar. Ia telah menjalankan tugas secara profesional.
“Sy diuber-uber terus, Pak Aji. Belum ngomong langsung sih. Cuma tadi komunikasi sama teman,” jelasnya lagi. Saya hanya bisa menarik napas panjang. Dunia jurnalistik belum sepenuhnya ramah bagi mereka yang jujur dan teguh menjaga etika. Tekanan datang bukan karena berita salah, tetapi karena terasa tidak nyaman bagi yang diberitakan.
Kisah ini bukan hanya milik Fia. Ini adalah cerita banyak jurnalis yang bekerja dengan nurani. Ketika permintaan take down muncul padahal berita telah melalui verifikasi dan upaya konfirmasi, maka yang dipertaruhkan bukan hanya naskah berita, tapi juga marwah jurnalisme. Tugas kita bukan untuk menyenangkan semua pihak, melainkan menyampaikan kebenaran secara etis. Jika ada yang keberatan, hak jawab adalah salurannya—bukan intimidasi, bukan tekanan, apalagi permintaan diam-diam untuk menghapus jejak digital.
Untuk Fia dan para jurnalis muda lainnya: tetaplah berdiri di sisi yang benar. Tidak perlu berteriak, cukup teguh. Karena dalam kesunyian itulah, kebenaran bekerja.
Memang, di era digital yang serba cepat, redaksi memang kerap menghadapi tekanan untuk menurunkan berita yang dianggap merugikan. Namun, Undang-Undang Pers mengamanatkan hak jawab sebagai mekanisme penyelesaian sengketa pemberitaan. Inilah dilema yang dihadapi media: tunduk pada tekanan atau memegang teguh etika?
Take down berita adalah permintaan untuk menghapus konten yang telah dipublikasikan, biasanya dari pihak yang merasa dirugikan secara reputasi. Permintaan ini sering disampaikan dengan tekanan, bahkan intimidasi. Di sisi lain, hak jawab adalah hak konstitusional setiap orang untuk memberikan klarifikasi atau sanggahan atas pemberitaan yang merugikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Permintaan take down sering terjadi karena beberapa alasan. Di antaranya, kekhawatiran akan pencemaran nama baik, terutama bagi tokoh publik atau pejabat, serta motif politik atau bisnis yang ingin membersihkan citra. Sayangnya, take down bukanlah solusi utama dalam etika jurnalistik. Jika media terlalu mudah menghapus berita, maka akan kehilangan kredibilitas, menghapus jejak sejarah, dan membuka celah intervensi pihak berkepentingan.
Sebaliknya, hak jawab adalah jalan etis dan profesional. Media yang memberikan ruang hak jawab menunjukkan sikap terbuka terhadap kritik dan klarifikasi. Ini bahkan dapat memperkaya informasi publik karena menampilkan berbagai sudut pandang. Redaksi yang bijak akan menerima hak jawab secara tertulis, memuat klarifikasi secara proporsional dan segera, serta menambahkan keterangan bahwa telah ada tanggapan resmi di berita terdahulu.
Namun, bukan berarti take down tidak bisa dilakukan. Itu dapat dipertimbangkan jika isi berita terbukti salah secara fakta dan menyesatkan, memuat data pribadi atau informasi sensitif tanpa izin, atau berdasarkan rekomendasi Dewan Pers maupun putusan hukum yang sah.
Permintaan take down bisa menjadi godaan, namun bukan jawaban atas semua persoalan. Redaksi harus kembali pada prinsip dasar: mengutamakan kepentingan publik, kebenaran, dan keadilan. Bila berita sudah benar, biarlah tetap tayang. Bila ada kekeliruan, berikan ruang hak jawab secara terbuka. Media bukan ruang sunyi yang anti kritik, tetapi bukan pula papan iklan yang bisa dibongkar pasang atas permintaan.
*Ketua SMSI NTB