Media Melemah dan Jurnalis Mulai Diam. Ini Alarm dari Purbaya

Abdus Syukur. (Foto: dok pribadi)

Oleh: Abdus Syukur*

Bisnis media terutama media mainstream,  media cetak dan elektronik, sedang berada pada titik paling berat dalam dua dekade terakhir. Banyak perusahaan pers terseok-seok, redaksi mengecil, dan para jurnalis bekerja sambil memikul cemas yang tak pernah selesai.

Di tengah suasana itulah Purbaya Sadewa—dalam sebuah forum resmi—menyampaikan pesan menohok. Media harus lebih tegas, lebih kritis, lebih berani. Tepatnya Purbaya bilang begini: Bisnis media anjlok, purbaya minta lebih galak, saya lihat mingkem semua.

Ia tidak sedang memarahi, tidak pula menuntut sesuatu yang berlebihan. Ia hanya mengingatkan bahwa ekosistem demokrasi membutuhkan pers yang hidup, bukan pers yang sibuk menahan suara. “Kalau medianya melemah, negara bisa salah arah,” begitu kira-kira intinya.

Ia mengajak media untuk tidak mundur hanya karena tekanan ekonomi dan persaingan digital. Baginya, jurnalis justru harus memperkuat posisi ketika keadaan sedang sulit.

Namun yang saya lihat di lapangan berbeda: banyak yang justru memilih diam. Mulut-mulut yang dulu lantang kini seperti kehilangan tenaga. Saya paham, tekanan finansial bisa membuat ruang gerak semakin sempit. Tetapi diam terlalu lama justru berbahaya. Sebab ketika jurnalis berhenti berbicara, publik kehilangan kompas moralnya.

Industri boleh saja turun, tetapi integritas tidak boleh ikut jatuh. Profesi ini tidak pernah dibangun dari kenyamanan, tetapi dari keberanian. Dari dedikasi untuk menyampaikan yang benar, meski tidak populer. Dari tekad untuk mengawasi kekuasaan, meski tidak selalu disukai.

Dari keyakinan bahwa tugas jurnalis bukan menenangkan kekuatan, melainkan menenangkan kegelisahan publik dengan informasi yang jernih.

Pesan Purbaya seharusnya tidak membuat kita defensif, melainkan tersadar. Tokoh publik saja mengingatkan agar media tetap galak, lalu mengapa kita sendiri yang justru melunak?

Kritik yang datang dari luar bukan ancaman—itu adalah alarm pengingat bahwa bangsa ini membutuhkan pers yang berdiri tegak, bukan yang menunduk.

Jurnalis bukan penonton; kita adalah penjaga. Kita bukan pengikut; kita penuntun arah. Berita yang kita tulis hari ini menentukan kualitas masyarakat di masa depan. Maka jangan biarkan rasa takut, tekanan bisnis, atau kekhawatiran internal membuat kita kehilangan jati diri.

Ini saatnya kembali melangkah dengan kepala tegak. Saatnya mengingat bahwa setiap kalimat yang kita tulis membawa tanggung jawab sejarah. Saatnya bangkit dari diam yang terlalu panjang.

Karena jika pers berhenti bersuara, maka bangsa ikut kehilangan nadinya. (*)

* Penguji UKW

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *