PEMERINTAH menggulirkan program rumah subsidi untuk wartawan sebagai upaya mendorong kesejahteraan jurnalis, terutama di daerah. Sebanyak 1.000 unit rumah direncanakan akan disalurkan melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Bekerja sama dengan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), BPS, Tapera, dan Bank BTN.
Namun, program ini menuai respons beragam. Di satu sisi, dianggap sebagai bentuk kepedulian terhadap profesi jurnalis yang sering menghadapi tantangan ekonomi. Di sisi lain, muncul kekhawatiran soal etika dan independensi pers.
Banyak wartawan di daerah bekerja tanpa gaji tetap dan tanpa tunjangan yang memadai. Dalam kondisi seperti ini, memiliki rumah layak menjadi tantangan besar. Program rumah subsidi dinilai dapat meringankan beban hidup mereka yang telah berjasa menyuarakan aspirasi publik.
Namun, niat baik ini justru memunculkan kontroversi. Sejumlah organisasi profesi wartawan, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI), secara tegas menolak program tersebut.
Sebagai pilar demokrasi, wartawan memiliki peran strategis dalam menjaga transparansi dan mengontrol kekuasaan. Dukungan seperti rumah subsidi semestinya tidak menjadi hal tabu. Sebagaimana halnya dukungan serupa yang diberikan kepada guru dan tenaga kesehatan. Namun, bantuan ini harus dikelola secara profesional agar tidak menimbulkan persepsi negatif. Jika tidak disertai pengawasan ketat dan kriteria yang jelas, program ini justru dapat membuka celah penyalahgunaan oleh oknum atau wartawan abal-abal yang tidak menjalankan profesinya secara profesional.
Kekhawatiran utama datang dari kemungkinan menurunnya independensi wartawan. Ketika jurnalis menerima bantuan langsung dari pemerintah atau pengembang, masyarakat bisa meragukan objektivitas pemberitaan mereka. Apalagi jika tidak ada mekanisme pengawasan yang jelas.
Isu lain yang mencuat adalah penentuan kriteria penerima. Apakah semua wartawan berhak? Atau hanya yang bersertifikasi dan berpenghasilan rendah? Ketidakjelasan ini berpotensi menimbulkan kecemburuan bahkan konflik internal di kalangan jurnalis.
Untuk menghindari konflik kepentingan dan menjaga kredibilitas wartawan, program ini disarankan dijalankan melalui koperasi atau lembaga resmi profesi wartawan. Mekanisme seleksi penerima harus berdasarkan kebutuhan nyata, bukan sekadar status profesi. Perlu juga dibentuk sistem pengawasan dan saluran pengaduan untuk memastikan program ini tidak disalahgunakan sebagai proyek politik atau ajang mencari keuntungan oleh oknum tak bertanggung jawab.
Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi NTB, HM Syukur, menyatakan dukungannya terhadap program rumah subsidi ini, dengan catatan harus memenuhi prinsip keadilan dan menjaga etika pers.
“Program ini sangat bermanfaat, terutama bagi wartawan yang benar-benar berjuang di lapangan dengan keterbatasan ekonomi. Tapi jangan sampai menimbulkan persepsi bahwa wartawan dibeli atau dikendalikan karena mendapat fasilitas. Harus jelas kriteria dan mekanismenya, serta dikelola oleh lembaga profesi yang kredibel,” ujar Syukur.
Menurutnya, SMSI NTB siap menjadi mitra dalam “mengawal” program ini agar tepat sasaran dan tidak memicu kegaduhan di kalangan insan pers maupun masyarakat luas.
Rumah subsidi untuk wartawan bukanlah bentuk pembelian loyalitas, tetapi pengakuan atas pengabdian. Namun, pelaksanaannya harus menjaga prinsip transparansi, profesionalisme, dan tetap menjunjung tinggi independensi. Ketika kesejahteraan jurnalis terjamin tanpa mengorbankan integritas, maka media akan tetap menjadi benteng terakhir dalam menjaga nurani bangsa. (hms)
Keterangan Foto:
Ketua SMSI NTB, HM Syukur, SH. (ist)