Oleh: Hendro Basuki*
Hari ini dunia perkopian makin semarak. Bukan hanya di sudut kota, tetapi di setiap sudut desa terdapat warung kopi. Kafe hadir untuk memenuhi hasrat peminum dan juga penikmat kopi.
Sedemikian banyak dan nyaris seragam, mungkin terasa membosankan. Setiap hari nyaris rutin dan seragam. Tidak ada variasi.
Jika satu saset kopi dituang ke dalam cangkir, lalu disusul dua tiga sendok gula, maka cukup sudah. Lalu di samping kiri kanan cangkir ada sepotong dua potong kue, maka ia sudah cukup mewarnai pagi yang indah.
*Tidak Cukup*
Tetapi, rutinitas itu terasa membosankan. Kecuali terhadap orang-orang yang konsisten pada sikap-sikap dan prinsip yang dipercayainya.
Orang yang konsisten terhadap “ritual” minum kopi itu ditandai dengan pertama, tidak memberi ruang pada inovasi dan variasi penyajian. Cenderung tetap hanya kopi hitam.
Kedua, mereka ini menganggap yang variasi itu bukanlah kopi. Rasa kopi hanya dijadikan asesoris rasa dan sudah kehilangan originalitasnya.
Ketiga, cenderung mencecap rasa yang konsisten. Mereka ini jatuh cinta bukan pada merk. Tetapi pada jenis, apakah robusta, arabica, liberika, atau pun exelsa.
Robusta pun beragam latar daerah dari mana kopi berasal. Robusta yang ditanam di dataran 400m_600m, tentu beda rasa dengan yang di bawah 400an meter.
Lidah mereka ini sudah terlatih, dan langsung bereaksi manakala taste yang dirasakan berbeda.
Demikian juga mereka yang terbiasa dengan arabica, lidah akan mereaksi sesuai yang dirasakannya.
*Kriteria Kualitas*
Proses penyajian juga memberikan pengaruh, meski tidak terlalu signifikan. Tetapi memang proses pasca petik sangat berpengaruh pada kualitas rasa.
Mungkin saja, secara ukuran kualitas, kopi yang dikonsumsi seseorang tidak istimewa menurut standar SNI. Kebanyakan peminum kopi jarang memperhatikan kualitas biji kopi. Kenapa? Selain pembelian dalam bentuk bubuk, juga jarak yang jauh dari daerah produksi.
Padahal, begitu banyak ukuran yang digunakan untuk mengukur kualitas kopi.
Kriteria secara umum, kopi terbebas dari kotoran-kotoran yang berpotensi menganggu kesehatan seperti serangga, mikroba tertentu, dan lainnya. Demikian juga kadar air yang tidak melebihi 12,5 persen. Jika melebihi angka ini, kopi mudah terserang jamur. Sebaliknya, jika di bawah angka itu petani rugi karena gramasi menjadi lebih rendah.
Belum lagi kualitas kopi dilihat dari performa biji, bentuk, besaran, dan tingkat kebersihan biji. Ukuran kualitas universal antara negara produsen relatif sama. Kopi disebut memiliki kualitas AA tertahan di saringan 7 mm. Sedangkan A manakala lolos dari saringan 7mm, tetapi tertahan di saringan 6,5 mm. Sedangkan kualitas rendah manakala lolos saringan 5 mm, tetapi tertahan di 4 mm.
Tentu saja, di bawah angka-angka tersebut dianggap tidak berkualitas.
Tetapi mana konsumen mengerti jika pembelian dalam bentuk bubuk?
Dengan memenuhi kriteria di atas, tentu yang memiliki nilai AA disebut sangat berkualitas. Lagi-lagi mana konsumen mengerti jika pembelian dalam bentuk bubuk, apalagi dalam kemasan?
*Edukasi*
Sayangnya, sangat jarang ada edukasi terhadap peminum dan penikmat kopi di sini. Akibatnya, pendapat pokoknya minum kopi kurang mampu mendorong produsen akan tuntutan kualitas. Muncul kemudian kopi asalan. Pokoknya bentuk kopi, warna hitam dan rasanya pahit. Mereka merasa aneh jika ada ada kopi terasa asam, bahkan manis dengan aneka rasa yang lain.
Rasa kopi menghilang seiring dengan semakin banyaknya bahan tambahan. Bukan hanya berpengaruh terhadap kualitas dan esensi rasa kopi, tetapi juga pada efektivitas dan manfaat kandungan nutrisi.
Kopi latte atau pun capuccino misalnya, di mana volume susunya lebih banyak, maka kualitas rasa kopi yang sesungguhnya menghilang. Mungkin ramah di lidah, tetapi tak banyak memberi manfaat.
Sering kali, demi inovasi, kreasi, atau demi konten di media sosial kita melihat campuran yang beranekaragam. Tentu saja, para kreator medsos ini mengincar peminum kopi yang tidak terdidik dengan baik. Mereka tidak paham dengan reaksi organ tubuh pasca minum.
Sebagai pecinta kopi, penulis sedih melihat fenomena ini. Tetapi tentu dapat memahami, karena kita belum lama berada dalam zona budaya kopi.
Padahal edukasi sebenarnya memberikan pengaruh besar pada pembuatan fondasi kita sebagai produsen kopi yang berada dalam 5 besar produsen dunia.
Masyarakat kopi yang terdidik akan memaksa secara terus menerus produsen meningkatkan kualitas.
Jika kita mengonsumsi kopi standar AA misalnya, pasti akan merasakan secara optimal, paling tidak sudah mengantongi 75-80 persen rasa kopi berkualitas. Jika air dan proses menyumbang 15 persen, dan kualitas barista mungkin hanya 5 persen atau kurang.
Sidang pembaca tak perlu terkecoh oleh para barista yang sering menyulit-menyulitkan pemrosesan kopi. Itu hanya asesori untuk membuat penyajian lebih menarik. Juga tidak boleh terpesona oleh alat, karena esensi teknologi hanya membuat sesuatu standar, efektif, dan efisien.
Tetapi penulis yakin, manakala kualitas biji prima, ditumbuk secara hati-hati, air berkualitas dengan segi derajat keasaman, dan rasa, berada di suhu 80-90 derajat Celcius ketika masuk cangkir keramik, sebenarnya Anda sudah mengantongi 80 persen, bahkan 100 persen kualitas rasa.
Kata kuncinya tetap pada biji dan kualitas air.
*Pecinta kopi