Model Penyelesaian Sengketa Perkawinan: Pencegahan, Pembatalan, dan Perceraian

Latar Belakang

Perkawinan adalah institusi sosial dan religius yang memiliki kedudukan sangat penting dalam kehidupan manusia. Islam menggambarkan pernikahan sebagai jalan menuju ketenteraman, kasih sayang, dan rahmat Allah (QS. Ar-Rum [30]:21).^1 Namun, tidak jarang rumah tangga menghadapi berbagai masalah, mulai dari ketidakharmonisan komunikasi, kekerasan, hingga pelanggaran syarat syariat.

Di Indonesia, persoalan ini mendapat perhatian serius. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur mekanisme penyelesaian sengketa melalui tiga jalur: pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, dan perceraian. Ketiganya bukan sekadar instrumen hukum, melainkan juga cermin dari upaya menjaga kesucian ikatan rumah tangga.

Artikel ini berusaha membahas ketiga model penyelesaian sengketa tersebut, dengan menelaah dasar hukum, implementasi, dan makna filosofisnya, agar dapat dipahami bukan hanya sebagai aturan kaku, tetapi juga sebagai upaya menjaga martabat manusia.

Pembahasan

1. Pencegahan Perkawinan

Pencegahan adalah upaya hukum untuk menghindari berlangsungnya perkawinan yang cacat syarat. UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI menegaskan bahwa perkawinan dapat dicegah jika terdapat pelanggaran syarat dan rukun, seperti masih terikat perkawinan lain, adanya hubungan mahram, atau ketidaksesuaian wali dan saksi.^2

Dalam perspektif Islam, pencegahan sejatinya adalah langkah preventif. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan tanpa wali.”^3 Dengan demikian, pencegahan adalah upaya menjaga kesucian perkawinan agar tidak dimulai dari kesalahan.

2. Pembatalan Perkawinan

Pembatalan berarti menyatakan bahwa perkawinan yang sudah berlangsung sejak awal tidak sah karena cacat hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 22–27 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 70–76 KHI.^4 Penyebabnya bisa berupa perkawinan tanpa wali sah, tanpa saksi, karena paksaan, atau melanggar larangan syariat.

Al-Qur’an menegaskan larangan mendekati perbuatan yang merusak moral: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra [17]:32).^5

Pembatalan pada hakikatnya adalah koreksi hukum. Ia memastikan bahwa perkawinan yang sejak awal tidak sesuai syariat tidak boleh dipertahankan, demi menjaga integritas institusi keluarga.

3. Perceraian

Perceraian adalah bentuk pemutusan ikatan perkawinan secara sah berdasarkan putusan pengadilan. UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 38–41 dan KHI Pasal 113–148 menyebutkan alasan perceraian, antara lain: zina, kekerasan, meninggalkan rumah tangga, pelanggaran janji poligami, hukuman penjara, atau murtad.^6

Rasulullah SAW bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”^7 Hadis ini menegaskan bahwa perceraian dibolehkan, tetapi harus menjadi jalan terakhir.

Perceraian hanya dapat dilakukan melalui pengadilan agama setelah proses mediasi. Dengan demikian, perceraian tidak hanya soal privat, tetapi juga menyangkut aspek sosial, hukum, dan keadilan.

Kesimpulan

Sengketa perkawinan adalah realitas yang tidak bisa dihindari. Hukum Islam dan hukum positif Indonesia menyediakan tiga jalur penyelesaian:

1. Pencegahan menjaga agar perkawinan tidak cacat sejak awal.

2. Pembatalan mengoreksi perkawinan yang tidak sah secara hukum dan syariat.

3. Perceraian memberi jalan keluar terakhir bagi rumah tangga yang tidak bisa dipertahankan.

Di balik teks hukum, terdapat pesan moral: perkawinan adalah ruang suci yang harus dijaga dengan kasih, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Bila harus berakhir, perpisahan pun dilakukan dengan cara yang bermartabat, sebagaimana pesan Islam dan ketentuan hukum negara.

Catatan Kaki

1. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: PT Bumi Restu, 2005), hlm. 406.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Kompilasi Hukum Islam, Pasal 13–16.

3. HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah.

4. UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 22–27; KHI Pasal 70–76.

5. QS. Al-Isra [17]:32, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 285.

6. UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 38–41; KHI Pasal 113–148. (*)

7. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Hakim. *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *