Ada yang baru pegang kartu anggota PWI sebentar, tapi merasa sudah dapat “kartu izin bicara” soal seluruh isi jagat pers.
Baru sehari mengenakan jaket seragam, sudah memerintah seolah-olah ia editor senior yang membimbing wartawan sejak zaman mesin tik.
Fenomena ini mirip seperti orang baru beli set alat pancing lalu langsung mengaku “ahli laut dalam”. Padahal umpan saja belum tahu bedanya dengan karet gelang.
Masuk PWI itu seperti masuk rumah besar. Ada ruang tamu, ada dapur, ada gudang penuh cerita perjuangan. Tapi rumah ini tidak langsung membuatmu menjadi tuan rumah. Kau tetap harus belajar menyapu lantai, memperbaiki atap bocor, dan menghormati mereka yang lebih dulu menanam tiang pondasi.
Sebagian wartawan kilat ini lupa bahwa kartu anggota hanyalah pintu masuk, bukan puncak prestasi. Mereka terlalu sibuk memamerkan pintunya, sampai lupa bahwa di dalam rumah, ada perjalanan panjang yang harus ditempuh:
Menulis berita yang benar meski berisiko kehilangan iklan.
Meliput di bawah hujan deras sambil menjaga kamera agar tidak rusak.
Menunggu narasumber yang janji “sebentar” tapi baru datang tiga jam kemudian.
Pers itu bukan pekerjaan instan. Ia seperti kopi tubruk: harus direbus, diaduk, dan dibiarkan hangat sebelum diminum. Kalau langsung diminum saat masih mentah, pahitnya akan berlipat dan ampasnya tersedak di tenggorokan.
Tapi sebagian orang ini maunya instan. Mereka belajar dari brosur, bukan dari jalanan. Bicara soal independensi, tapi belum pernah merasakan dilematisnya memilih antara menulis kebenaran atau menjaga keselamatan diri. Bicara soal integritas, tapi baru sekali liputan di lapangan, itu pun acara potong pita.
Kalau kita mau jujur, jadi wartawan sejati itu butuh waktu bertahun-tahun. Bukan hanya mengasah pena, tapi juga mengasah hati. Menulis bukan untuk memuaskan ego, tapi untuk memberi terang di tengah gelap.
Jadi, untuk yang baru masuk PWI: nikmatilah prosesnya. Jangan buru-buru jadi “pakar”. Diamlah, amati, serap, dan tulis. Karena wartawan yang baik itu bukan yang paling cepat bicara, tapi yang paling tekun belajar.
Sebab dalam dunia pers, kecepatan masuk tidak pernah menjamin ketangguhan bertahan. (*)