Ketika Jari Lebih Tajam dari Selingkuh Fisik

MALAM itu, lampu kamar masih menyala. Di sisi ranjang yang dingin, seorang istri menatap suaminya yang tersenyum sendiri di depan layar ponsel. Jemari suaminya menari lincah di atas keyboard, membalas pesan yang tak pernah ia tahu isinya. Bukan untuknya, bukan untuk anaknya, bukan pula urusan kantor—hanya sebuah ruang maya yang tak pernah bisa ia jamah.

Beginilah rupa perselingkuhan zaman sekarang. Tak butuh pelukan, tak perlu bersua. Cukup dengan emotikon senyum, kata-kata manis, dan video call di malam hari, cinta bisa berpindah arah. Tak ada jejak di tubuh, tapi luka tetap menganga di hati. Perselingkuhan digital hadir seperti angin malam yang dingin, tak terlihat tapi menusuk. Ia menyelinap lewat ruang-ruang privat, bercokol di notifikasi yang tak sempat dibuka oleh pasangan sah, dan mengendap dalam “chat yang sudah dihapus”.

Padahal, apa bedanya luka hati dengan luka tubuh? Bukankah pengkhianatan, meski tak berbentuk fisik, tetaplah pengkhianatan? Islam pun tidak membiarkan hati berselingkuh tanpa cela. Rasulullah ﷺ bersabda: “Zina mata adalah melihat, zina telinga adalah mendengar, zina lisan adalah berbicara. Dan hati menginginkan dan berharap, sedangkan kemaluan yang membenarkan atau mengingkari.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka, biarpun jari hanya menyentuh layar, jika hati ikut bergetar untuk yang bukan mahram, itu sudah cukup disebut pengkhianatan dalam pandangan langit. Betapa banyak rumah tangga yang luluh lantak bukan karena tubuh yang berkhianat, tapi karena perhatian yang bocor ke arah yang lain. Bukan karena pergi ke tempat gelap, tapi karena terlalu lama berteduh di ruang chat yang samar. Suami atau istri, siapapun kita, tak ada yang kebal dari godaan layar.

Di balik setiap profil dan status, bisa jadi ada jebakan yang mengikis komitmen. Maka, berhati-hatilah dengan jari-jari, karena ia bisa mengetikkan cinta pada orang yang salah, dan menghapus kepercayaan dari hati yang seharusnya kita jaga. Dalam sunyi rumah yang semakin renggang, anak-anak belajar diam, dan pasangan tak lagi saling bicara.

Bukan karena tak cinta, tapi karena cinta sudah keburu tersesat dalam gawai, tersimpan rapi dalam folder rahasia. Perselingkuhan digital tidak meninggalkan bekas fisik. Tapi ia menanam luka di jiwa. Luka yang tak mudah sembuh, karena ia tak bisa dibalut perban, tak bisa disuntik antibiotik.

Jika hati ingin tenang, jangan biarkan ia menjelajah terlalu jauh tanpa izin. Dan jika cinta ingin abadi, jagalah ia, bahkan dari yang tak kasat mata. Karena layar bisa mati, tetapi jejak di hati tak mudah dihapus.

Catatan: Artikel ini ditulis oleh Abdus Syukur dengan dukungan teknologi kecerdasan buatan. Ilustrasi foto: ai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *