UNDANGAN via WA itu datang tiba tiba. Pengirimnya H Rudi Hidayat. Begini bunyinya:
“Rekan2 para penguji nasional, Yth:
Kami atas nama para penguji asal Medan selaku tuan rumah menunggu kehadiran Bapak/Ibu sekalian utk ngopi bareng. Tempat KA KUPI Jl. HM Yamin Medan. (Sesuai denah diatas). Tiada kesan tanpa kehadiran anda kalau sudah di Medan. Horas.🙏🏻🙏🏻🙏🏻“
Saya dapat forward undangan singkat padat itu dari penguji UKW, Nasrudin (Ketua PWI NTB) yang sedang sama sama mengikuti agenda HPN 2023, “Konvensi Media Massa” . Di dalamnya juga bergabung para penguji UKW se-tanah air.
Sekadar info jumlah penguji di Provinsi NTB masih sangat minim, baru punya tiga, Rudi Hidayat, Nasrudin dan terakhir penulis sendiri.
Setelah salat Zuhur di Masjid Al Ikhlas yang bersebelahan dengan Hotel Grand Mercure, hotel peserta Hari Pers Nasional (HPN), kami memutuskan untuk ikut nimbrung.
Karena lokasinya tidak terlalu jauh, hanya beberapa blok dari hotel tempat menginap, kami memilih jalan kaki dari masjid ke KA Kupi.
Meninggalkan sejenak para peserta HPN yang sedang berjibaku dengan sejumlah agenda HPN yang serius.
Termasuk belasan pengurus PWI NTB mengikuti giat tahunan insan pers yang kali ini dipusatkan di Medan Sumatera Utara itu.
Agendanya padat merayap. Dari pagi sampai sore. Materinya tidak jauh jauh dari kehidupan dunia pers yang bermuram durja sejak beberapa tahun terakhir.
Bagaimana mengembalikan kehidupan pers menjadi normal, menjaga independensi, kemerdekaan pers dll dan perkembangan dunia digital.
Materi materi itu disajikan para nara sumber kompeten. Menkominfotik Jhonu G Plate dan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu juga datang memberi pencerahan.
Memang, ibarat sedang meniti kembali jalan “pulang” setelah bertahun tahun diterpa bejibun masalah. Termasuk petaka “hadiah” dari om Vovid-19 yang sempat menyandera harapan hidup bagi dunia pers dan dunia usaha yang lain.
Menyusuri jalan menuju tempat tongkrongan di tengah rintik hujan.
Sampailah kami di KA Kupi, Kopi khas Aceh yang dimaksud undang itu.
Betul saja, di sana sudah berkumpul puluhan penguji yang datang dari hampir seluruh Indonesia. Ada juga Prof Rajab Ritonga yang menurutnya tidak lagi sebagai Direktur UKW. Juga penguji senior Marah Sakti Siregar.
Dalam pertemuan itu, beberapa masalah dalam pengujian mengemuka termasuk hal ringan. Perbedaan gaya dan penyampaian materi oleh satu penguji dengan penguji yang lain misalnya.
“Ada beberapa hal yang perlu kita seragamkan dalam sistem pengujian UKW,” kata Okta, salah satu penguji. Ada yang kalem, ada juga yang keras kepada peserta. “Kalau saya pilih marah kepada peserta yang tidak serius mengikuti UKW,” sambung Okta lagi.
Sementara Penguji Marah Sakti Siregar mempertanyakan kebijakan lembaga uji yang bersikap over kepada penguji. Yang main pecat gegara hal sepele. Hanya karena tidak minta ini lembaga uji tempatnya bernaung.
Marah Sakti Siregar yang dikenal penguji tegas itu mengingatkan bahwa penguji itu bukanlah karyawan dari lembaga uji. Dia itu profesional. “Jadi bijaklah,” sarannya.
Setelah mengemuka beberapa persoalan yang mencuat dari para penguji, moderator diskusi mengingatkan kalau forum pertemuan itu tidak punya wewenang untuk memutuskan. Melainkan hanya memberi masukan yang selanjutnya nanti jika perlu akan dibawa ke forum resmi, baik di PWI atau pun Dewan Pers.
Ahlul bait yang juga para penguji UKW Sumatera Utara sambung moderator diskusi mengundang rekan rekan penguji untuk ngobrol atau diskusi sambil ngopi kopi khas Aceh.
Apalagi dari HPN ke HPN belum pernah sama sekali para penguji bertemu apalagi tatap muka. Sekaligus ini ajang silaturahmi para penguji khususnya penguji alumi PWI.
Sebagai “orang baru” dalam dunia penguji, saya lebih memilih jadi pendengar perbincangan dan nostalgia para senior. Juga memaklumkan kepada Pak Nas, begitu ketua PWI itu biasa kami sapa, kalau saya menjadi pendengar yang baik saja.
Diskusi yang berlangsung hampir satu jam sambil ngopi itu memang tidak memutuskan apapun. Kecuali masukan masukan positif untuk menjadi penguji lebih baik ke depan.
Semoga saja tidak ada diskriminasi dan persaingan yang tidak sehat antar lembaga uji.
Sehingga ouputnya melahirkan wartawan wartawan kompeten sesuai jenjang nya.
Wartawan muda, Madya dan Wartawan Utama, yang kini jumlahnya masih minim. Ke depan tidak seperti saat ini, satu wartawan utama “terpaksa” menjadi Pemred di lima media. Padahal aturannya, maksimal dua media saja. Semoga. (abdus syukur)