Matilah Kau UU Pers

Oleh: Hendry Ch Bangun

Matilah kau Undang-Undang Pers. Begitulah kira-kira ucapan Anak Medan, kalau ditanya apa akibat tidak langsung dengan disahkannya UU KUHP di Dewan Perwakilan Rakyat RI, Jakarta, Selasa (6/12).

Undang-Undang Hukum Pidana yang mulai diberlakukan pemerintah kolonial Belanda sejak 1918 itu, sudah berusaha diubah dan disesuaikan dengan lepasnya Indonesia dari penjajahan sejak era Presiden Soekarno tahun 1960.

Tetapi bukannya ke arah kedaulatan rakyat sebuah negara merdeka, bau-bau kolonialnya justru masih terasa. Pemerintah menganggap rakyat yang berbeda pendapat, menyampaikan pendapat kritis yang tidak sejalan dengan kekuasaan, sebagai musuh sebagaimana dulu Belanda memperlakukan para pejuang pro kemerdekaan.

Pemerintah bilang pengesahan ini adalah dekolonisasi (mungkin maksudnya dekolonialisasi), sebaliknya masyarakat pers dan pegiat HAM menyebut, UU KUHP yang baru malah rekolonisasi.

Penghinaan terhadap pimpinan negara, lembaga negara, lambang dan simbol negara, dianggap upaya untuk delegitimasi pemerintah, dan dijatuhi hukuman pidana denda atau sanksi pidana. Celakanya pers menjadi collateral damage, terkena efek samping dari upaya pemerintah menjaga “stabilitas”.

Dewan Pers sampai detik-detik terakhir sebelum UU KUHP disahkan, berupaya semaksimal mungkin agar pengesahan ditunda karena ada cacat, khususnya terkait UU No 40 tentang Pers, yang lahir dengan semangat reformasi, setelah sekian puluh tahun dikangkangi Soeharto.

Saya rinci di bawah ini, ada sembilan kluster yang dianggap menghambat kemerdekaan pers—yakni, kegiatan menyiarkan berita sebagai tindakan yang dapat dipidanakan–, agar pembaca mendapatkan rujukan selengkapnya.

Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap ideologi negara.

Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, karena merupakan wujud ketentuan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP yang sudah dicabut Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintahan yang Sah, serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan pengusaha hukum) karena ada kata “penghinaan” dan “hasutan” yang bersifat karet.

Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran dan Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong.

Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan.

Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan.

Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.

Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaan: pencemaran nama baik.

Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran.

Ketika Undang-Undang Pers diberlakukan tujuan utamanya adalah untuk menghancurkan “kegelapan” dan “kesewenang-wenangan” Orde Baru dalam menjalankan pemerintahan, memberantas Korupsi, Kolusi, Nepotisme oleh Soeharto dan keluarganya dan rezimnya.

Pers tidak takut lagi melakukan kontrol atas lembaga dan penyelenggaraan negara, mengkritik penyelenggara negara yang menyeleweng, proses pembangunan yang asal-asalan, penganggaran yang tidak akuntabel dsb.

Sejauh produk jurnalistiknya dihasilkan secara profesinal, sesuai Kode Etik Jurnalistik, tidak ada masalah. Kalau dianggap melanggar pers wajib memberikan hak jawab, atau melakukan ralat, atau meminta maaf kepada pihak yang dirugikan atau ke masyarakat.

Tetapi sekarang, rambu-rambu di UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan berbagai aturan hasil dari swaregulasi, seperti ditendang ke got oleh UU KUHP.

***

Di dalam poin menimbang, butir a dan b, jelas sekali bagaimana kedudukan UU Pers sebagai perwujudan dari Pasal 28 UUD 1945.

Bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.

Bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

UU KUHP siap-siap menerkam pers yang menyampaikan informasi di satu sisi dan memidanakan masyarakat yang menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani, dan memperoleh hak untuk mendapatkan informasi.

Kalau ada demonstrasi menyampaikan pendapat yang dianggap menghina pemerintah atau pejabat atau lembaga, posisi pendemo dalam ancaman, begitu pula pers yang memberitakan dalam bentuk visual, suara, ataupun tulisan. Padahal dalam UU Pers dijelaskan peranan dan fungsi pers.

Di Pasal 6 UU Pers, dikatakan, Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut, a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

Pers akan kerepotan apabila melakukan liputan atas promosi doktor, diskusi, seminar, terkait dengan ideologi, yang dianggap bertentangan dengan ideologi negara, meskipun itu sejatinya demi kepentingan ilmu pengetahuan.

Beritanya akan berpotensi menjadi pidana penjara 4 tahun, padahal wartawan menjalankannya sebagai bagian dari tugas pers. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UU Pers, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Media-media di daerah yang kerap melakukan kontrol sosial atas proses pembangunan di wilayahnya mendapat ancaman yang nyata, ketika itu nanti dianggap sebagai bagian dari delegitimasi pemerintah atau pejabat pelaksananya.

Apakah pemberitaan jembatan yang rusak walau baru sebulan diresmikan, gedung sekolah yang ambruk padahal baru dibangun, jalan yang dibangun tidak sesuai spesifikasi, pejabat yang menyunat anggaran, kepala sekolah yang memungut di luar ketentuan, penentuan pejabat yang didasari suap, menjadi pintu masuk penjara bagi wartawan.

Bisa jadi meski wartawan menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang ditulis di Pasal 6 UU Pers, yakni d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;

Yang juga perlu mendapat perhatian dan disikapi dengan hati-hati oleh wartawan adalah perihal penyiaran berita bohong. Dari sisi Kode Etik Jurnalistik, informasi yang sudah dikonfirmasi dari sumber yang tepat sudah dianggap informasi yang benar, tetapi bisa jadi menjadi berita bohong apabila dianggap merongrong kewibawaan lembaga, institusi.

Dewan Pers pernah mendapat pengaduan dari sebuah media di Jawa Tengah, yang dicap telah membuat berita hoaks oleh sebuah rumah sakit, padahal berita yang dibuat berdasarkan keterangan dari sumber yang jelas.

Berita mereka dicap “hoax” oleh lembaga kepolisian setempat, yang jelas menjatuhkan kredibilitas media karena sudah melakukan proses pemberitaan sesuai kaidah jurnalistik. Di dalam UU KUHP yang baru, status itu malah bisa berujung pidana penjara.

Dalam Nota Kesepahaman (MoU) Kepolisian RI dan Dewan Pers, yang berhak menetapkan sebuah berita adalah karya jurnalistik atau bukan, mestinya Dewan Pers, melalui proses pemanggilan kedua pihak yang merasa dirugikan dan penyelenggara media. Apakah ini masih berguna atau tidak apabila sudah ada pasal yang menjadikannya kasus pidana.

***

Upaya untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pastilah dilakukan oleh kita semua sebagai bagian dari masyarakat pers, agar pasal-pasal yang menghambat kemerdekaan pers, yang bertentangan dengan Pasal 28 UUD 45, dihapus.

Unjuk rasa pegiat pers, pegiat HAM, warga kampus, juga mungkin akan jalan terus walau tidak bakal mengubah apapun. Tetapi kalau itu tidak ditunjukkan, keadaan bakal dianggap baik-baik saja.

Tetapi yang mengherankan, kemana akal sehat dari para ahli yang merumuskan pasal-pasal yang “antireformasi” tersebut.

Apakah mereka masih merasa hidup di zaman Orde Baru?

Atau apakah merasa pers sudah menjadi penghambat penyelanggaraan pemerintah yang katanya demokratis sehingga kita selalu disebut negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat?

Dimanakah nurani para ahli yang berasal dari kampus, yang selalu mendengung-dengungkan kebebasan akademis, kemerdekaan berpendapat?

Marilah kita bersama-sama membela kemerdekaan pers, dengan seksama, sampai kapanpun, tetap lurus sekalipun bumi runtuh. (***)

Ciputat, 7 Desember 2022

Penulis: Wartawan senior, mantan Wakil Ketua Dewan Pers

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *