Dialog Kebudayaan NTB: Antara Kearifan Lokal dan Tantangan Pelaksanaan

Dialog Kebudayaan NTB yang direncanakan dimulai pukul 08.00 WITA pagi di ruang budaya tertutup Taman Budaya Mataram ternyata berjalan dengan dinamika yang sering dijumpai dalam acara-acara seremonial.

Sebagai tempat yang didesain bak bioskop, ruangan itu diharapkan menjadi saksi pembahasan beragam topik menarik tentang budaya NTB. Namun, hingga menjelang pukul 09.00 WITA, acara belum juga dimulai.

Seperti yang diperkirakan banyak pihak, waktu mulai pukul 08.00 pagi terasa terlalu dini. Para undangan yang hadir pun belum memenuhi setengah kapasitas ruangan. Sementara itu, panitia terlihat masih sibuk menyelesaikan berbagai persiapan teknis. Ada yang sibuk melengkapi peralatan di panggung, ada pula yang mengantar undangan menuju tempat duduk masing-masing.

Di layar panggung acara, sesekali terdengar musik tradisional, meski bukan gending Sasak atau lagu-lagu Mbojo yang biasa mewarnai suasana budaya NTB. Hingga pukul 08.56 WITA, suasana ruangan masih terasa santai, tanpa tanda-tanda acara segera dimulai. Sebaliknya, pemandangan yang terlihat adalah sesi selfie spontan dari para undangan serta reuni kecil di antara budayawan yang mengenang masa lalu.

Beberapa undangan mulai menunjukkan rasa tidak sabar. Mereka saling berbincang untuk mengisi waktu, sementara sebagian memilih keluar ruangan karena bosan menunggu hampir satu jam tanpa kejelasan dimulainya acara. “Saya keluar dulu,” ujar salah satu tamu sembari berjalan ke luar ruangan.

Di tengah situasi itu, para undangan menampilkan keberagaman busana yang menarik. Sebagian besar mengenakan pakaian adat tradisional NTB, sementara yang lain tampil sederhana dengan balutan batik. Kehadiran mereka mencerminkan antusiasme terhadap budaya NTB, meskipun acara belum juga dimulai.

Dialog kebudayaan seperti ini diharapkan mampu menjadi ruang untuk mendiskusikan isu-isu penting tentang tradisi, adat, dan seni budaya NTB. Namun, dinamika seperti keterlambatan acara sering kali menjadi tantangan yang mengurangi kenyamanan para peserta. Semoga ke depannya, pelaksanaan dialog budaya mampu lebih tertata sehingga substansi diskusi dapat dinikmati dengan penuh antusiasme oleh semua pihak. (red)