Rebiya Kadeer, Pengusaha Uighur yang Berjuang untuk Hak Asasi Manusia

Oleh: Sofia Kusumaningrum

Rebiya Kadeer adalah seorang wanita pengusaha asal Uighur yang pernah menjadi salah satu perempuan terkaya di Tiongkok. Namun, karena aktivitas politiknya dalam membela hak-hak masyarakat Uighur di Xinjiang, ia mengalami konflik dengan pemerintah Tiongkok hingga akhirnya hidup dalam pengasingan. Saat ini, Rebiya Kadeer dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia yang terus memperjuangkan hak-hak komunitas Uighur di tingkat internasional.

Lahir pada tahun 1947 di Altay, Xinjiang, Rebiya Kadeer berasal dari keluarga miskin yang sulit mengakses pendidikan dan peluang ekonomi. Ayahnya terlibat dalam kelompok pemberontak Uighur pro-Soviet yang didukung oleh Republik Turkestan Timur Kedua. Lingkungan tempat ia tumbuh membentuk pandangannya tentang pentingnya kemajuan melalui pendidikan dan ekonomi.

Dalam kehidupan awalnya, Rebiya Kadeer menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Namun, ia kemudian memutuskan untuk berbisnis dengan menjual pakaian tradisional Uighur. Usahanya berkembang pesat hingga merambah sektor properti dan pusat perbelanjaan di Xinjiang, menjadikannya salah satu wanita terkaya di Tiongkok. Perusahaan perdagangannya bahkan beroperasi hingga ke China, Rusia, dan Kazakhstan.

Keberhasilannya membawa Rebiya Kadeer ke dunia politik. Ia mendapatkan berbagai posisi dalam parlemen Tiongkok serta institusi politik lainnya. Selain itu, ia juga dikenal sebagai filantropis yang mendirikan yayasan “Gerakan 1000 Ibu,” yang membantu wanita Uighur memulai bisnis lokal dan memberikan bantuan kepada anak yatim serta keluarga kurang mampu.

Perjuangan Hak Asasi dan Konflik dengan Pemerintah Tiongkok
Pada awalnya, Rebiya Kadeer memiliki hubungan baik dengan pemerintah Tiongkok. Namun, ketika ia menyadari adanya diskriminasi terhadap masyarakat Uighur, ia mulai bersuara untuk memperjuangkan hak mereka. Ia menentang kebijakan yang membatasi budaya, bahasa, dan kebebasan beragama komunitas Uighur serta memperjuangkan akses ekonomi yang setara dengan etnis Han yang dominan di Tiongkok.

Akibat aktivitasnya, pada tahun 1999 Rebiya Kadeer ditangkap dengan tuduhan membocorkan rahasia negara setelah mengirim surat ke Kongres Amerika Serikat tentang kondisi hak asasi manusia di Xinjiang.

Ia dijatuhi hukuman delapan tahun penjara. Namun, berkat tekanan internasional, terutama dari Amerika Serikat, ia dibebaskan pada tahun 2005 dan langsung diasingkan ke Amerika Serikat.

Di pengasingan, ia tetap aktif membela hak-hak masyarakat Uighur. Sebagai pemimpin World Uyghur Congress (Kongres Uighur Dunia), ia terus mengkampanyekan kesadaran global mengenai kondisi masyarakat Uighur di Xinjiang. Ia menyoroti kebijakan kerja paksa, kamp re-edukasi, serta berbagai bentuk penindasan yang dialami komunitasnya.

Pemerintah Tiongkok menganggap Rebiya Kadeer sebagai separatis dan ancaman bagi stabilitas negara. Bahkan, mereka menuduhnya sebagai dalang di balik kerusuhan di Urumqi tahun 2009, meskipun ia membantah keterlibatannya. Selain itu, tekanan juga diberikan kepada keluarganya yang masih tinggal di Xinjiang untuk membungkamnya.

Melalui aktivitasnya, Rebiya Kadeer berhasil menarik perhatian dunia terhadap situasi masyarakat Uighur. Banyak negara dan organisasi internasional mendesak Tiongkok untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.

Walaupun menghadapi ancaman dan tekanan, ia tetap gigih menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia masyarakat Uighur di berbagai forum internasional, termasuk di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan media global.

Ia juga menyerukan agar negara-negara lain menerima masyarakat Uighur yang melarikan diri dari represi pemerintah Tiongkok.
Pada tahun 2015, Rebiya Kadeer dianugerahi Lantos Human Rights Prize, bersama dua aktivis hak asasi lainnya, Ayaan Hirsi Ali dari Somalia dan Irshad Manji dari Uganda.

Dalam perjuangannya, ia menegaskan bahwa masalah Uighur bukan hanya masalah bagi komunitas Uighur, tetapi juga masalah dunia. “Keadaan ini terjadi karena penolakan sistematis terhadap hak asasi dan kebebasan dasar masyarakat Uighur oleh pemerintah Tiongkok,” ujarnya.

Rebiya Kadeer adalah contoh nyata seorang pengusaha sukses yang kemudian menjadi pejuang hak asasi manusia karena melihat ketidakadilan terhadap bangsanya. Meskipun berada di pengasingan, ia terus memperjuangkan hak masyarakat Uighur melalui berbagai platform internasional. Perjuangannya menjadi simbol ketahanan dalam menghadapi penindasan dan inspirasi bagi banyak orang yang memperjuangkan kebebasan dan keadilan.

Referensi:
“Rebiya Kadeer,” Wikipedia Bahasa Indonesia, diakses 5 Maret 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Rebiya_Kadeer.

“Rebiya Kadeer,” Wikipedia Bahasa Inggris, diakses 5 Maret 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Rebiya_Kadeer.

Uyghur Human Rights Project, “China’s Persecution of Rebiya Kadeer and Her Family,” diakses 5 Maret 2025, https://uhrp.org.

Amnesty International, “China: Uighur Human Rights Defenders Under Threat,” diakses 5 Maret 2025, https://www.amnesty.org/en/latest/news/.

Lantos Foundation, “2015 Lantos Human Rights Prize Recipients,” diakses 5 Maret 2025, https://www.lantosfoundation.org/2015-prize.

“World Uyghur Congress,” Official Website, diakses 5 Maret 2025, https://www.uyghurcongress.org.

*Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram