Oleh Muhammad Akhyar Adnan*
Bulan Suci Ramadhan, waktu yang seharusnya penuh berkah kerap diwarnai kenaikan harga komoditas pokok yang sudah seperti tradisi tahunan.
Dalam tulisan sebelumnya, “Kenaikan Harga Menjelang dan Selama Ramadhan, Wajarkah?”, saya menunjukkan bahwa kenaikan ini tidak logis menurut hukum supply dan demand.
Permintaan seharusnya turun karena puasa, sementara pasokan diklaim stabil oleh Pemerintah. Namun harga tetap naik. Sebuah paradoks yang saya duga akibat hoarding (penimbunan) yang dilakukan pedagang nakal.
Kini, kita perlu bertanya: apakah ini mencerminkan kebodohan kolektif atau ketidakberdayaan sistemik? Dari perspektif makro, Ramadhan seharusnya menurunkan permintaan.
Dari 275 juta penduduk Indonesia, 85 persen atau sekitar 233 juta adalah Muslim. Namun, tidak semua berpuasa. Anak kecil, warga sepuh, orang sakit, dan mereka yang bepergian mungkin dikecualikan.
Jika kita asumsikan 75 persen berpuasa (sekitar 175 juta), frekuensi makan turun 30 persen dari tiga menjadi dua kali sehari. Dengan supply stabil, seperti klaim pemerintah, harga mestinya turun.
Dalam akuntansi, ini seperti “penurunan volume transaksi” yang seharusnya mengurangi “pendapatan” pasar. Tapi, harga malah naik.
Dari sudut mikro, pedagang ayam langganan saya mengaku penjualannya turun selama Ramadhan. Banyak pedagang kecil mengurangi stok karena pembeli berkurang. Rumah tangga membeli lebih sedikit akibat harga mahal, dan beberapa pedagang libur.
Ini seperti “penurunan persediaan” yang seharusnya menekan harga. Namun, kenyataan bertolak belakang. Mengapa? Saya menduga hoarding atau ihtikar berupa penimbunan oleh pedagang besar sebagai biang keladi.
Mereka menciptakan kelangkaan buatan, menaikkan harga, lalu meraup untung besar.
Dalam Islam, ini dilarang keras. Surah Al-Humazah ayat 1-2 berbunyi:”Celakalah setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.”
Tapi, mengapa fenomena ini terus berulang? Apakah ini sebuah Kebodohan atau ketidakberdayaan (dalam hal ini ketidakberdayaan Pemerintah)?
Kebodohan: Kegagalan Analisis
Kebodohan di sini adalah ketidakmampuan atau keengganan menganalisis fakta. Pemerintah sering mengatakan “stok aman” atau “ini wajar,” padahal data menunjukkan anomali.
Jika demand turun dan supply stabil, kenaikan harga adalah “penyimpangan” yang perlu diaudit, bukan dibiarkan. Sikap ini seperti menerima laporan keuangan timpang tanpa verifikasi. Suatu kebodohan analitis.
Pedagang kecil juga terjebak. Banyak yang ikut menaikkan harga meskipun penjualan turun, mengikuti psikologi pasar tanpa logika ekonomi. Kebodohan mikro yang merugikan diri sendiri.
Masyarakat pun tak luput: sikap pasrah “tiap tahun begitu” adalah status quo bias, padahal boikot kolektif bisa menekan harga. Kebodohan ini melanggengkan masalah.
Namun, ada ketidakberdayaan yang lebih dalam. Pemerintah, meski punya wewenang, tampak lumpuh. Mungkin karena lemahnya pengawasan rantai pasok atau pengaruh politik pedagang besar.
Dalam akuntansi, ini seperti gagalnya “kontrol internal” pasar. Pedagang kecil tak berdaya melawan distributor yang menimbun stok, dan masyarakat tak punya alternatif karena demand untuk kebutuhan pokok bersifat inelastis.
Solusi: Audit dan Aksi
Untuk keluar dari lingkaran ini Pemerintah harus melakukan “audit pasar”. Lacak stok, tangkap pelaku hoarding, dan hukum berat. Pedagang kecil perlu akses pasokan terjangkau, misalnya via koperasi. Masyarakat harus dididik untuk melawan dengan boikot.
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membantu saudaranya dalam kesulitan, Allah akan membantunya.” (HR. Muslim). Dalam hal ini kuncinya adalah solidaritas. Kenaikan harga saat Ramadhan adalah cermin kebodohan dan ketidakberdayaan.
Pemerintah gagal mengaudit, pedagang kecil terjebak, dan masyarakat pasrah. Tapi, ini bukan takdir. Ada alat, data, dan kekuatan kolektif untuk melawan. Tinggal sekarang: mau atau tidak? Wallahu a’lam bisshowab.
*Muhammad Akhyar Adnan, PhD., MBA., SE., Ak. adalah Dosen Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi.
Keterangan Foto:
Muhammad Akhyar Adnan (Foto: Dok. pribadi)