Oleh Benz Jono Hartono*
Pembukaan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan salah satu peristiwa paling kontroversial dalam sejarah politik Indonesia. Dekrit ini dikeluarkan oleh Presiden Soekarno sebagai respons terhadap kebuntuan politik yang terjadi akibat kegagalan Konstituante dalam menyusun konstitusi baru. Namun, langkah tersebut menimbulkan berbagai kontroversi dan dipandang oleh sebagian kalangan sebagai sebuah skandak politik. Ulasan ini akan membahas latar belakang, isi, dan dampak dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, serta mengapa tindakan tersebut dianggap sebagai skandal politik.
Latar Belakang
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, negara ini mengadopsi UUD 1945 sebagai konstitusi sementara. Pada tahun 1950, Indonesia beralih ke sistem demokrasi parlementer dengan konstitusi sementara, yaitu UUDS 1950. Namun, ketidakstabilan politik dan ketidaksepakatan antar partai politik menyebabkan sulitnya mencapai kesepakatan mengenai konstitusi permanen.
Pada tahun 1955, diadakan pemilu untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas menyusun konstitusi baru. Namun, setelah bertahun-tahun perdebatan dan diskusi, Konstituante gagal menyelesaikan tugasnya. Keadaan ini menimbulkan krisis konstitusional yang memaksa Presiden Soekarno untuk mengambil tindakan drastis.
Isi Dekrit
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang berisi tiga poin utama:
1. Pembubaran Konstituante.
2. Pemberlakuan kembali UUD 1945.
3. Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
Dekrit ini secara efektif mengakhiri sistem demokrasi parlementer dan mengembalikan kekuasaan eksekutif yang lebih besar kepada presiden. Langkah ini dianggap kontroversial karena Soekarno mengambilalih kekuasaan dengan cara yang tidak sesuai dengan prosedur demokratis.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dianggap sebagai skandal politik oleh sebagian kalangan karena beberapa alasan berikut:
1. Pelanggaran Prosedur Demokratis, Soekarno mengabaikan proses demokratis yang seharusnya melibatkan perdebatan dan persetujuan dari wakil rakyat. Tindakan ini dianggap sebagai kudeta konstitusional karena mengakhiri sistem parlementer dan memberlakukan kembali UUD 1945 tanpa persetujuan yang sah.
2. Penggunaan Kekuasaan Eksekutif yang Berlebihan, dengan dekrit ini, Soekarno memperkuat posisi presiden dan mengurangi peran legislatif. Hal ini menyebabkan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di tangan eksekutif, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.
3. Manipulasi Situasi Politik, Soekarno menggunakan krisis konstitusional sebagai alasan untuk memperkuat posisinya. Beberapa pihak menuduh bahwa krisis tersebut sengaja diciptakan atau diperparah untuk membenarkan tindakan otoriter presiden.
Pengaruh Terhadap Masa Depan Politik Indonesia
Dekrit ini membuka jalan bagi munculnya otoritarianisme di Indonesia. Setelah dekrit, Soekarno mengimplementasikan Demokrasi Terpimpin yang mempersempit ruang gerak partai politik dan mengendalikan kehidupan politik secara lebih ketat.
Dampak Jangka Panjang
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memiliki dampak jangka panjang yang signifikan bagi politik Indonesia. Meskipun awalnya dianggap sebagai solusi terhadap kebuntuan politik, dekrit ini justru membawa Indonesia menuju era otoritarianisme di bawah pemerintahan Soekarno dan kemudian Soeharto. Kebebasan politik dan demokrasi mengalami penurunan drastis, dan praktik-praktik otoriter menjadi lebih umum.
Penutup
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan titik balik penting dalam sejarah politik Indonesia yang membawa dampak besar terhadap perkembangan sistem politik di negara ini. Meskipun langkah tersebut dianggap perlu oleh sebagian pihak untuk mengatasi krisis konstitusional. Banyak yang melihatnya sebagai sebuah skandal dan kejahatan politik. Dekrit ini menunjukkan bagaimana kekuasaan eksekutif dapat digunakan untuk mengubah arah politik suatu negara dengan cara yang kontroversial dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
*Penulis adalah Praktisi Media Massa*
*Anggota Dewan Pembina ASPIRASI INDONESIA, Untuk Penetapan 15 Maret sebagai Libur Nasional Hari Anti Islamofobia*
*di Jakarta*