Menteri Muda dan Dampak Bagi Pendidikan Kita

Oleh: Maefa Eka Haryani, S.Pd, M.Pd*

Dito Ariotedjo resmi dilantik menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada senin, 3 april 2023 kemaren. Dito dilantik menjadi menteri dalam usia 32 tahun 6 bulan, dan menjadi menteri termuda di Kabinet Indonesia Maju saat ini, memecahkan catatan rekor sebelumnya yang dipegang oleh Nadiem Makarim yang dilantik menjadi menteri Pendidikan & Kebudayaan RI pada usia 35 tahun 6 bulan.

Meski Bukan menjadi menteri termuda dalam catatan sejarah Republik Indonesia, karena berdasarkan catatan Museum Rekor Indonesia (MURI), menteri Termuda di Indonesia masih dipegang oleh Ir. H Setiadi Reksoprodjo, yang diangkat menjadi Menteri Penerangan oleh Presiden Soekarno pada Kabinet RI ke-5, Kabinet Amir Sjarifuddin Pada tahun 1947, saat Setiadi berusia 25 tahun 7 bulan dan menjadikannya sebagai menteri termuda sepanjang sejarah Kabinet Republik Indonesia. Namun pelantikan Dito dan Nadiem sebagai Menteri di Kabinet Indonesia Maju dalam usia dibawah 40 tahun yang bagi sebagian masyarakat, mungkin masih dianggap terlalu muda, memberikan angin segar dan harapan tersendiri bagi anak-anak muda milenial saat ini.

Penulis awalnya agak sedikit merasa tersentak namun sekaligus senang dan excited ketika membaca berita Pelantikan Dito sebagai Menteri di Usia 32 tahun ini, yang menurut penulis akan semakin memacu semangat perubahan besar yang terjadi di negara Indonesia, termasuk juga sistem pendidikan generasi muda saat ini yang diharapkan juga dimotori oleh para generasi milenial untuk bisa memenangkan persaingan dikancah Internasional disaat era digital seperti saat ini.

Penulis melihat akan ada banyak lini yang akan mengalami perubahan dengan penempatan dua jabatan menteri dari kalangan anak muda di kabinet Presiden Jokowi ini, mulai dari meningkatnya rasa kepercayaan diri anak-anak muda saat ini dengan prospek pengembangan karier dan perhargaan atas inovasi & kreatifitas anak-anak muda, atau dalam istilah kerennya bersemangat untuk menjadi Rising Stars dan Young Creative Guy, Karena Pemerintah telah memberikan ruang sekaligus contoh “pengakuan dan penghargaan” atas potensi dan prestasi generasi milenial saat ini, walau di usia yang masih (dianggap) sangat muda sekalipun.

Lebih lanjut, hal ini juga sekaligus akan mematahkan kultur masyarakat Indonesia yang cenderung hirarkis yang memuja siapa saja yang berada di puncak jabatan, yang seringkali membuat anak-anak muda dipandang sebelah mata karena dianggap belum menjadi apa-apa.

Dalam hal ini, penulis mencoba mengajak kita mengambil pelajaran dari tulisan tentang “The death of Samurai”, dimana Hegemoni Industri Jepang yang begitu digdaya dan mendunia selama beberapa dekade lalu telah mulai disalip oleh Industri asal Korea Selatan yang lebih mengedepankan kecepatan inovasi dan kreativitas anak-anak muda-nya.

Sistem Promosi Karier di Industri Jepang, yang memakai metode urut kacang, dimana senior akan lebih didahulukan, yang membuat nyaris tidak ada pejabat di level senior manager dalam usia 30-an tahun, sehingga membuat pergerakannya menjadi lambat dan kurang inovatif, yang pada akhirnya terlibas oleh Industri asal Korea Selatan yang mengedepankan Kecepatan dan Inovasi anak-anak muda. Karena didalam era digital seperti saat ini, kecepatan dan Inovasi adalah kunci.

Lihatlah Sony, Panasonic, Sharp, dan Toshiba yang begitu digdaya dizamannya saat ini dilibas oleh Samsung dan LG. Begitu juga Industri Otomotif Korea Selatan yang dimotori oleh Hyundai, Kia dan Genesis telah mulai menyalip merk-merk Jepang di Kancah Internasional. Terakhir K-Pop yang semakin meninggalkan jauh J-Pop.

Kecepatan dalam mengambil keputusan, kecepatan dalam pengembangan, kecepatan dalam meluncurkan produk, disertai inovasi berkelanjutan yang cepat menjadi titik krusial kemenangan Industri korea dalam persaingan menghadapi hegemoni industri jepang dikancah internasional., Mulai dari Industri Elektronik, Otomotif, hingga Industri Hiburan.

Pemerintah Indonesia saat ini tampaknya sudah memulai perbaikan dan telah memulai perubahan tata kelola aparatur Negara, yang juga banyak mengikuti sistem senioritas, terutama disektor birokrasi, dimana usia puncak karier rata-rata diatas 50 tahun, yang menjadi warning bagi pemerintah Indonesia jika ingin memenangkan persaingan dikancah Internasional, terutama menyongsong Indonesia emas 2045 dimana 70% penduduk Indonesia ada direntang usia produktif.

Karenanya, penulis melihat penunjukan Dito sebagai Menpora diusia 32 tahun ini akan semakin memperkuat arah perubahan tersebut, termasuk transformasi disektor pendidikan, yang mulai menyeimbangkan antara pendidikan akademik dengan kegiatan yang dapat mengasah life skill anak-anak muda, dengan memberikan kesempatan untuk melakukan apa yang mereka sukai, minati, yang menjadi passion anak-anak muda saat ini, sejak usia dini.

Anak-anak muda (pelajar dan mahasiswa) bisa dipacu lebih kuat untuk mengejar passion mereka untuk terus mengasah life skill semakin kompetif dan inovatif dengan memberikan ruang pengakuan dan penghargaan atas potensi dan prestasi generasi milenial saat ini.

Kegiataan Sekolah dan Kampus juga semakin ditekankan untuk memiliki lebih banyak ekskul yang mengarahkan generasi milenial untuk melakukan hal yang mereka sukai dan dalami sejak usia TK, sehingga anak tidak melulu belajar. diharapkan kelak akan menjadi membentuk anak muda yang inovatif dan mempunyai daya saing yang unggul, sehingga menjadi daya dukung kompetitif bagi bangsa Indonesia untuk memenangkan persaingan di kancah global nantinya.

(Penulis adalah Dosen Pendidikan Kimia FKIP UNSRI)*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *