Catatatan Hendry Ch Bangun (Anggota Dewan Penasihat Serikat Media Siber Indonesia/SMSI)
Kita berdukacita atas tragedi yang menewaskan 134 orang di Stadion Kanjuruhan, Malang, buntut dari pertandingan Persebaya dengan Arema, hari Sabtu 1 Oktober 2022.
Mari kita mendoakan agar arwah mereka diterima baik di sisiNya dan semoga kejadian menyedihkan seperti itu tidak terjadi lagi di negara kita, atau dimana pun.
Bermain sepakbola mestinya adalah peristiwa menggembirakan sehingga baik pemain maupun penonton harus menerima hasil dengan apa adanya, walaupun ada sisi persaingan untuk mendapatkan kemenangan dari dua tim yang bermain di lapangan. Dan kita menyaksikan pertandingan di liga-liga besar di Eropa, Amerika Latin ataupun Asia, Afrika, sportivitas sangat dijaga.
Hal itu antara lain ditunjukkan oleh pemain, yang kalah ataupun menang, yang menyampaikan terima kasih ke pendukung mereka. Tentu saja selalu ada penyimpangan dan dampak, tapi itu sangat sedikit.
Di Indonesia, seperti juga di kebanyakan negara di dunia, sepakbola adalah olahraga popular yang disukai siapapun, tua muda, laki-laki atau perempuan, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Entah kapan mulai masuknya ke negeri ini, tetapi karena ini olahraga orang Eropa, diyakini bahwa yang membawanya adalah Belanda, ketika mereka masuk dan kemudian menguasai Hindia Belanda.
Menurut penelurusan yang saya lakukan belasan tahun lalu, meskipun sudah ada permainan sepakbola di kampung-kampung, pertandingan “resmi” antarperkumpulan baru dimulai pada tahun 1906.
Saya melakukan studi kepustakaan, menjelajah koran-koran berbahasa Melayu untuk mencari berita-berita tentang olahraga yang mereka muat. Dan akhirnya menyimpulkan bahwa berita pertandingan resmi antarklub sepakbola diadakan hari Minggu 5 Agustus 1906, seperti diberitakan oleh Pemberita Betawi terbitan 4 Agustus 1906.
Sepakraga (Voetbaal)
Besok hari Minggoe di tanah lapang Singa ada orang bermain voetbal.
Perhimpoenan B.V.C dengan Sparta, dan perhimpoenan Achilles dengan Hercules.
Beritanya singkat, seperti pengumuman saja, tetapi sudah menunjukkan setidaknya pada waktu itu ada empat perhimpunan sepakbola yang ikut kejuaraan walau ada belasan klub Eropa ada di Betawi.
Melihat nama-namanya klub yang ada ini merupakan perkumpulan sepakbola milik atau berisikan pemain Belanda atau Eropa meski dari waktu ke waktu orang Melayu, dan Tionghoa juga ikut menjadi pemain sepakbola.
BVC adalah Batavia Voetbal Club, sedang Sparta, Achilles, Hercules, Vios, dapat diketahui adalah nama klub yang ada di Belanda dan ditiru namanya di Hindia Belanda.
Agar diingat pada masa itu pemerintah kolonial membagi tiga kelompok masyarakat, yaitu kelompok Eropa, orang Asing (Asia yakni Arab dan Tionghoa), dan orang Slam (maksudnya Islam).
Klub pribumi nanti memiliki nama-nama seperti Tjahja Betawi, Tegoeh Setia, Bintang Timur, Sinar Kota, Seri Gunawan, Raksasa, Sinar Boelan, bahkan Tamba Loemajan.
Sedangkan klub Tionghoa, misalnya Tiong Hoa Voetbal Club, Tiong Hoa Sport Vereenniging, Thien Nien Hui, Chung Hua, atau bernama netral seperti Union Makes Strength (UMS) yang sampai sekarang tetap eksis.
Tidak hanya di sepakbola, perkumpulan olahraga orang Tionghoa untuk bulutangkis bahkan lebih banyak lagi. Oleh kalangan Tiong Hoa, olahraga dianggap sebagai sarana untuk menunjukkan kekuatan mereka, khususnya terhadap pemerintah kolonial bahwa mereka adalah bangsa yang tangguh meski kerap direndahkan bangsa Eropa.
***
Di Jawa Timur, pertandingan sepakbola di tahun 1930an sudah ramai dilakukan. Ada kompetisi antarklub di Surabaya, yang sudah menggabungkan perkumpulan semua bangsa, di bawah Nederlands Indie Voetbal Bond (NIVB). Nanti belakangan, ketika PSSI (Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia) berdiri pada 19 April 1930 di Mataram, ada juga perkumpulan sepakbola khususnya pribumi hanya mau berkompetisi di bawah naungan PSSI.
Dualisme ini terus berlangsung dalam kondisi tidak seimbang karena NIVB disokong pemerintah sementara PSSI ditopang dukungan masyarakat yang terbatas kemampuan finansial meskipun semangat sepakbolanya tinggi sehingga kualitasnya kadang lebih bermutu, ditunjukkan dengan, bila ada klub luar negeri yang bermain PSSI menang sedang NIVB kalah.
Sebagai dua kota terbesar di Jawa Timur, Surabaya dan Malang memiliki pemain-pemain sepakbola handal. Dari berita yang dimuat di koran Sin Po terbitan 16 Februari 1934, ditulis tentang pertandingan antara Surabaya dan Malang di lapangan Tiong Hoa, untuk kompetisi NIVB yang berkesudahan 6-0 untuk tuan rumah Surabaya.
Dari susunan pemain terlihat bahwa dua kesebelasan terdiri dari bangsa Eropa, Melayu, dan Tionghoa. Pemain untuk pertandingan kedua kota ini berasal dari klub di kota masing-masing. Harings misalnya bermain untuk klub Thor, Kwai Sing dari klub Tiong Hoa.
Surabaya menampilkan De Wilde (kiper), Baumgarten dan Chin Hoat (bek), Achmad, Sie Liong, Nawir (gelandang), Harings, Hian Gwan, Lohy, Kwai Sing, Hong Djin (penyerang).
Malang juga memakai formasi sama, dengan Mo Heng sebagai kiper, dia ini yang menjadi penjaga gawang tim nasional ketika Hindia Belanda tampil di Piala Dunia Perancis tahun 1939. Pemain lainnya adalah Thong Thjiang, Dorms (bek), Mespelblom, Meyer, Schuurman/Bing Lie (gelandang), Goudsmit, Giok Tjoe, Moestamie, Van de Steegh, Polihury (penyerang).
Untuk mendapatkan gambaran tentang berita pertandingan tersebut dan juga acara pemberitaan pada tahun 1934 itu, berikut saya kutipkan beberapa alinea, sesuai aslinya:
Boeat ronde kadoea dari afdelingwedstrijd NIVB antara Soerbaja dan Malang telah dibikin ini hari di bawah pimpinan refree Hartog dari Semarang. Sajang sekali ini wedstrijd diganggoe oleh oedjan, maskipoen pertandingan dilandjoetkan teroes, tetapi spelkwaliteit ada toeroen. Soerabaja ada banjak lebih koeat. Technisch dan tachtiesch spelers Soerabaja ada banjak lebih oenggoel.
Ada menarik hati, bagaimana goal pertama ditjitak oleh Kwai Sing, jang di ini wedstrijd ada sanget favorite dan saban-saban dapet kaokan dari publiek Eropa.
Itu goel ada bagoes. Dari tengah di waktu refree tioep fluit pertama, bola oleh Sie Liong disontek pada Kwai Sing dan ngiprit sendirian dengan temboesin antero pendjagahan Malang sampe bisa deketin doel. Satoe tembakan bikin djalanya Malang tergeter.
Doea menit baroe maen goal sudah ditjitak. Tapi ada satoe-satoenya goal di periode pertama, sebab sampai pause stand tetap 1-0.
Sebentar lagi oedjan toeroen, tapi Tiong Hoa veld tida takoet aer, djadi pertandingan bisa dimaenkan teroes. ……
Satoe koetika bola oleh Harings didjedjelken masoek. Hian Gwan seperti kilat menjamber pada bola jang menembak dengan direct. Bola dengen keras mandek dalam djaring, 5-0.
Malang soeda djadi down. Soerabaja berkoeasa betoel-betoel di atas lapangan. Satoe vrij schop ditembak ka samping.
Oerang doega Soerabaja masih aken bisa tjitak lagi satoe goal, sebab saban-saban bola menoedjoe ka benteng Malang. Satoe tembakan dari Haring ditahan oleh keeper. Bola mental ka tengah dimana Lohy bersedia. Bola dari badannja Lohy balik ka dalem doel dan stand 6-0. Tidak lama kamoedian pertandingan brenti.
Saya tidak menemukan berita dan hasil pertandingan pertama, yang mestinya diadakan di Malang, beberapa hari sebelumnya. Dan di berita ini sendiri tidak muat hasil pertandingan kandang dan tandang, untuk menentukan hasil akhir pertemuan Surabaya dan Malang.
***
Bahwa hasil pertandingan tidak selalu sesuai harapan, akan selalu ada, tetapi berkaca dari sebuah pertandingan di Betawi pada tahun 1930 dapat menjadi teladan. Klub UMS di kompetisi divisi 2 mestinya sudah ditetapkan sebagai juara tetapi karena menang 2-1, namun kemenangann itu diprotes karena ada gol yang semula dianulir dianggap sah, Protest Commisie VBO menerimanya dan hasil akhir ditetapkan 2-2.
Di pertandingan kedua UMS kembali menang 2-1, tetapi lagi-lagi diprotes lawan, karena di dalam Peraturan VBO, tidak ada aturan bahwa penentuan pemenang pertandingan dilakukan lewat perpanjangan waktu. Protes ini pun diterima, sehingga VBO menetapkan ada pertandingan ketiga.
Pengurus, pemain, dan supporter UMS pusing bukan kepalang. Sudah dua kali menang di lapangan tetapi dua-duanya seperti tidak berarti, mereka harus berjuang untuk ketiga kalinya. Begini berita di koran Djawa Tengah terbitan 14 April 1930:
Dalam doenia voetbal di Batavia, baroe ini kali kita alamken satoe keada’an di mana kampioenschap klas doea dipereboetin begitoe poenja soesa. Tida koerang dari tiga kali moesti diadaken beslissingwedstrijd boewat itoe.
Liwat tiga minggoe ada kita wartaken tentang beslissingwedstrijd pertama antara UMS 2 versus B (ataksche) V (oetbal) V (ereeniging) yang berkasoedahan 2-1 boeat kaoentoengannja UMS, kamoedian ini uitslag diroba djadi 2-2, kerna protesnya BVV atas satoe goal jang oleh referee tidak didjadiken diakoeh sah oleh Protest Commisie VBO. Lantaran demikian djadi ini pertandingan moesti dioelangin lagi.
Beslissingwedstrijd kadoea seperti djoega kita soeda kabarken, dilakoekan pada minggoe berselang, 6 April, dan kasoedahannja djoeda 2-1 boeat kamenagannya itu perkumpulan Tionghoa sasoedanja doea kali verlenging dan itoe goal kemenangan boeat UMS ditjitak dalam verlenging kadoea. Itoe kasoedahan djoega tida ditrima baek oleh BVV beralesan katanja dalam Reglement VBO tidak ada verlenging same doea kali dan djoega kenapa dalam match pertama tidak diverlengd. Protest Commisie VBO kombali trima baek BVV poenja protest hingga beslissingwedstrijd jang katiga harus diadaken.
Tidakkah pembatja djadi goleng kepala menampak keadaan demikian?
UMS akhirnya tetap menjadi juara divisi dua setelah di pertandingan ketiga pada 13 April 1930 di lapangan BVC, berhasil lagi-lagi menang dengan skor 2-1. Mereka meskipun dikerjai lawan yang didukung pengurus asosiasi, UMS tetap sabar, berjuang, dan menang. Begitulah cara menghadapi persoalan yang elegan, bukan dengan marah, patah arah, apalagi melakukan tindakan anarkis dan memalukan.
Petasan boeat katiga kalinja disoeloet dan ini kali ada jang paling lama, hingga asepnya seperti taboenan!…
UMS 2 tetep boleh gondola itoe gelaran Kampioen, kerna sekarang tidak ada portas-portesss lagi! Kitapoenja pengatoeran slamet jang kadoe kalinja…
Bisa jadi kita menengok kembali ke masa lalu yang baik, untuk memetik pelajaran untuk maju di masa mendatang. Entah itu PSSI yang kerap sesuka hatinya membuat aturan—bergantung pada kemauan sponsor–, atau perkumpulan yang seharusnya mendisiplinkan diri dalam semua hal dalam menjaga sportivitas, dan tentu saja masyarakat yang seharusnya menikmati pertandingan dan bukan menjadi korban yang tak perlu.***
Ciputat, 4 Oktober 2022.