Oleh: HM Syukur, SH
PERKEMBANGAN teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Salah satu inovasi yang paling populer adalah ChatGPT, sistem berbasis bahasa yang mampu memahami dan menghasilkan teks seperti manusia.
Kehadirannya membuka peluang besar dalam dunia pendidikan, penelitian, hingga media. Namun, di balik kemudahan itu, muncul pertanyaan penting: apakah manusia masih berpikir kritis, atau justru semakin bergantung pada mesin?
Dalam dunia pendidikan, dampak ChatGPT terasa sangat nyata. Banyak mahasiswa menggunakan teknologi ini untuk menulis tugas, meringkas bacaan, hingga menyusun karya ilmiah. Di satu sisi, ChatGPT memudahkan proses belajar dan menulis. Tetapi di sisi lain, penggunaan yang berlebihan dapat menumpulkan kemampuan berpikir kritis dan mengurangi semangat berproses — sebuah fenomena yang dikenal sebagai kemalasan digital, di mana seseorang merasa produktif padahal hanya menyalin hasil dari AI tanpa pemahaman mendalam.
Penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan berlebihan pada sistem dialog AI seperti ChatGPT dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis, pengambilan keputusan, dan analisis mandiri pada pelajar (Zhai, 2024).
Beberapa pakar menilai ketergantungan semacam itu berpotensi mengancam etika dan integritas akademik. Dalam konteks ilmiah, penggunaan ChatGPT tanpa atribusi yang benar dapat dikategorikan sebagai plagiarisme digital. Teknologi ini memang pintar, tetapi tidak menghasilkan pengetahuan baru — ia hanya menyusun ulang informasi yang sudah ada. Karena itu, pengguna perlu memiliki kemampuan reflektif dan etika berpikir agar hasilnya tetap bertanggung jawab.
Kajian lain oleh Frontiers in Education (2023) menegaskan bahwa penggunaan AI generatif dalam pendidikan harus diiringi dengan kebijakan akademik yang ketat dan pelatihan literasi digital agar tidak menimbulkan pelanggaran integritas ilmiah (Kasneci et al., 2023).
Kekhawatiran tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional. Beberapa studi menunjukkan bahwa pelajar yang terlalu bergantung pada ChatGPT cenderung mengalami penurunan motivasi belajar dan kreativitas (Adiguzel & Çetinkaya, 2024).
Menanggapi fenomena itu, berbagai universitas ternama mulai bertindak. Harvard University, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menyesuaikan kurikulum dan menerbitkan panduan etika penggunaan AI dalam pendidikan. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa ChatGPT digunakan sebagai alat bantu inspirasi, bukan pengganti kerja keras mahasiswa (Harvard University IT, 2024).
Dari sisi keilmuan, ChatGPT juga memiliki keterbatasan. Jawabannya sering terdengar meyakinkan, tetapi belum tentu akurat atau mutakhir. Tanpa verifikasi fakta, hasil AI dapat menyesatkan, terutama dalam penelitian dan jurnalisme. Karena itu, literasi digital menjadi hal penting agar pengguna dapat menilai, menyaring, dan menggunakan informasi secara bijak.
Meta-analisis terbaru yang dipublikasikan di Humanities and Social Sciences Communications menunjukkan bahwa penggunaan ChatGPT memang dapat meningkatkan performa belajar dalam konteks tertentu, tetapi dampaknya terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi masih moderat dan kontekstual (Zhou dkk., 2025).
Selain soal keakuratan, isu keamanan data dan bias algoritma juga menjadi perhatian. Banyak pengguna tanpa sadar memasukkan data pribadi atau dokumen penting ke dalam sistem AI. Padahal, informasi itu tersimpan di server pihak ketiga dan berpotensi disalahgunakan. Sementara itu, bias budaya dan politik dalam data pelatihan ChatGPT dapat memengaruhi jawaban yang diberikan, sehingga tidak selalu sesuai dengan konteks lokal Indonesia (Putri & Utami, 2024).
Meski demikian, ChatGPT tetap memiliki sisi positif bila digunakan secara benar. Dalam pendidikan dan media, teknologi ini dapat membantu memperluas wawasan, mempercepat penulisan, dan memicu ide-ide kreatif. Namun, tanggung jawab tetap berada di tangan manusia. AI seharusnya menjadi alat bantu berpikir, bukan pengganti proses berpikir itu sendiri.
Dengan demikian, dampak ChatGPT dalam pendidikan dan literasi digital Indonesia bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga persoalan etika dan kesadaran manusia. Teknologi akan membawa manfaat bila digunakan dengan tanggung jawab, nalar kritis, dan semangat belajar yang sejati. Di tengah derasnya arus digitalisasi, manusia tetap harus menjadi pengendali utama dari kecerdasan buatan yang ia ciptakan sendiri.
*Praktisi Pers, Asesor UKW NTB, dan Pemerhati Literasi Digital
Daftar Pustaka
Adiguzel, T., & Çetinkaya, E. (2024). Educational integrity and the rise of generative AI: Challenges for academic honesty in higher education. Education and Information Technologies, 29(2), 1123–1140. https://doi.org/10.1007/s40979-024-00157-4
Harvard University Information Technology. (2024). Generative AI guidelines for teaching and learning. Retrieved from https://www.huit.harvard.edu/ai/guidelines
Kasneci, E., Seegerer, S., Buder, J., & Holzinger, A. (2023). ChatGPT for good? On opportunities and challenges of large language models for education. Frontiers in Education, 8, 1331607. https://doi.org/10.3389/feduc.2023.1331607
Putri, A. R., & Utami, D. S. (2024). Bias dan etika penggunaan ChatGPT dalam konteks pendidikan Indonesia. Jurnal Media Komunikasi dan Pendidikan, 12(3), 221–234. https://e-journal.unair.ac.id/MKP/article/view/65428
Zhai, X. (2024). How ChatGPT can transform education: Challenges and opportunities of generative AI for learning. Smart Learning Environments, 11(1), 21. https://slejournal.springeropen.com/articles/10.1186/s40561-024-00316-7
Zhou, J., Zhang, Y., & Li, K. (2025). The effects of ChatGPT on learning performance: A meta-analysis. Humanities and Social Sciences Communications, 12(1), 4877. https://www.nature.com/articles/s41599-025-04787-y












