BANDA ACEH, NTBNOW.CO—Politisi Partai Aceh Zulfadli, A.Md, Jumat (25/8/2023) mengatakan, penyusunan Rencana Anggaran (RKA) Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) ilegal karena tidak melalui paripurna Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS).
Ketua Komisi IV DPRA Zulfadli mengatakan ketidakhadiran Pj Gubernur Aceh pada Sidang Paripurna KUA-PPAS yang digelar oleh Parlemen Aceh pada Senin (21/8/2023) memiliki dampak secara aturan. Karena ketidakhadiran Kepala Pemerintah Aceh dalam paripurna menyebabkan tidak terpenuhinya siklus pengelolaan keuangan daerah yang diatur di dalam Peraturan pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 90 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Zulfadli yang merupakan penerima SMSI Aceh Award 2023 kategori Politisi Peduli Pembangunan Daerah Pemilihan, menyebutkan di dalam pasal 90 ayat (1) sampai (3) dalam proses penyusunan KUA-PPAS, kepala daerah harus menyampaikan rancangan KUA dan PPAS kepada DPRD paling lambat minggu kedua bulan Juli, supaya dibahas dan disepakati bersama antara kepala daerah dan DPRD.
Kemudian, rancangan KUA-PPAS ditandatangani oleh kepala daerah dan pimpinan DPRD paling lambat minggu kedua Agustus.Serta, KUA-PPAS yang telah disepakati bersama menjadi pedoman bagi perangkat daerah dalam menyusun RKA SKPD.
Dalam prakteknya, penyusunan RKA-SKPA tahun 2024 tidak adanya kesepakatan antara Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. Kesepakatan itu melalui mekanisme penetapan (paripurna) di DPRA. Sayangnya, ketika rapat paripurna hendak digelar pada Senin (21/8/2023) Pj Gubernur Aceh selaku Kepala Pemerintahan Aceh tidak menghadirinya, yang menyebabkan sidang tersebut diskors hingga saat ini.
Zulfadli yang merupakan Ketua Komisi IV DPRA menjelaskan, tanpa adanya paripurna KUA-PPAS, maka pembahasan dan penyusunan RKA tidak dapat dilanjutkan.
“Penyusunan RKA-SKPA harus berpedoman pada tatacara penyusunan dokumen sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, selain itu juga harus tunduk pada Peraturan Gubernur Aceh Nomor 16 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan Dan Penatausahaan, Pelaporan & Pertanggungjawaban Serta Monitoring Dan Evaluasi Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Aceh, karena sebagaian besar rumusan kegiatan yang dirumuskan oleh SKPA tidak terlepas dari kegiatan hibah dan bansos,” sebut Zulfadli.
Lebih lanjut ia menjelaskan, merujuk pada Peraturan Gubernur Aceh Nomor 16 Tahun 2022, rumusan yang telah ditetapkan dalam RKA-SKPA harus mendapat pembahasan secara langsung, dan rekomendasi dari SKPA harus mendapat pertimbangan dari Ketua Tim Tanggaran Pemerinta Aceh (TAPA), hal ini sebagaimana ditetapkan dalam Paragraf 2 Rekomendasi Hibah berupa Barang/ Jasa Pasal 12 ayat (1) Kepala SKPA/Biro menyampaikan surat rekomendasi usulan hibah berupa barang/jasa kepada Sekretaris Daerah selaku Ketua TAPA untuk mendapatkan Pertimbangan TAPA, paling lambat 1 (satu) minggu sebelum penetapan RKPA atau perubahan RKPA.
Lagi-lagi hal ini tidak terjadi karena kurang harmonisnya hubungan Pj Gubernur Aceh dan Sekda. Sekda Aceh tidak dilibatkan memimpin rapat-rapat khusus terutama dalam pembahasan anggaran dan pembahasan penetapan kebijakan baik KUA-PPAS Tahun 2024 maupun penyusunan kebijakan APBA 2024.
Padahal fungsi Sekda Aceh sebagai pendelegasian wewenang pimpinan dan sebagai ketua TAPA (Tim anggaran pemerintah Aceh) menjadi sangat sentral dalam perumusan dan pembahasan kebijakan.
Untuk menggantikan Sekda Aceh, Kepala pemerintah Aceh menunjuk Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Aceh sebagai penanggung jawab. Akibat dari kondisi tersebut, banyak keputusan sama sekali tidak dibahas secara baik dan tertib sebagaimana perintah UU dan peraturan lainya.
Oleh karena itu, pembahasan RKA SKPA yang tetap dilanjutkan tanpa melalui proses paripurna rancangan KUA-PPAS, telah melahirkan pelanggaran aturan hukum karena tidak taat azas. Hasil akhirnya, RKA tersebut akan ilegal. (rls)