Mencari Solusi dari Rakor 23 Kepala DPK se Indonesia: Ternyata Pejabat Pusat Belum Mewarisi Jiwa Pelaut

Oleh: HS. Makin Rahmat, Direktur LBH Maritim

 

Kegelisahan yang terjadi seputar carut-marut perizinan dan pengelolaan laut 0-12 Mil, mendorong institusi Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) ingin mengupas tuntas terhadap kebijakan pemerintah pusat masih setengah hati melepas tanggung jawab total ke provinsi.

Akhirnya, atas inisiasi Kepala DPK Jatim Dr. H. Muhammad Isa Anshori, mengajak seluruh kepala DKP se Indonesia melakukan rapat koordinasi (Rakor) untuk menyamakan visi, misi dan platform memanfaatkan sumber data kelautan beserta mitra, diantaranya forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan, LBH Maritim, pengusaha, Syahbandar dan satpolair.

Tentu dalam pertemuan Rakor di Surabaya bertempat di salah satu hotel berbintang lima tersebut juga mengundang narasumber yang kompeten. Kadis KP Jatim Isa Anshori juga moderator dalam Rakor pertama melibatkan 23 DKP provinsi berharap ada sinergi networking aturan dan pengejawantahan praktek di lapangan.

Sebelum Rakor menjadi kajian akademis, politis, dan memberikan kepastian hukum, muncul pertanyaan, sandaran Undang-Undang (UU) nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Kelautan) mampu menjadi landasan pengaturan untuk mendukung pembangunan kelautan secara optimal dan terpadu serta memberikan kemanfaatan bagi hajat hidup rakyat, bukan segelintir orang? Tentu waktu dan kepekaan pejabat pusat yang akan membuktikan.

Dalam Rakor hari Jum’at (16/6/2023) tersebut menghadirkan narasumber Prof. Daniel M Rosyid PhD dan Prof. Widi A Pratikto dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Sedangkan dua narasumber lainnya Prof. Aan Eko Widiarto dan Dr. Abu Bakar Sambah dari Universitas Brawijaya (UB), Malang.

Sepintas dari paparan narasumber dan pertanyaan peserta Rakor terungkap, masih ada disharmoni dalam UU yang mengatur pengelolaan laut dan pesisir. Hal ini diutarakan guru besar Hukum Pemerintahan Daerah dan Ilmu Perundangan-undangan, Fakultas Hukum UB, Aan Eko Widiarto.

Intinya, dari produk hukum yang berlaku masih banyak aturan yang bertabrakan antara pemerintah pusat dengan provinsi. Ada disharmoni dalam beberapa pasal di UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU. Semestinya, pemerintah daerah yang punya wewenang mengatur masalah kelautan adalah provinsi. Namun, di UU Cipta Kerja tidak menghapus atau mengubah UU Pemerintahan Daerah terkait kewenangan provinsi di laut. Provinsi masih memiliki wewenang sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah dan wewenang yang diatur dalam UU Cipta Kerja.

Melihat alur dan kewenangan, UU Cipta Kerja yang merangkum beberapa UU adalah bersifat lex generalis (aturan khusus yang bermakna general atau umum). Sedangkan UU Pemerintahan Daerah adalah lex specialis (khusus mengatur Pemda dengan segala tanggung jawab hukum). Semestinya UU Pemda bisa mengesampingkan UU Cipta Kerja.

Untuk kepastian hukum, Aan Eko usul perlu diajukan yudicial review (pengujian) terhadap UU Cipta Kerja terhadap materi yang bertentangan dengan UUD ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pandangan lebih tegas disampaikan pakar kelautan ITS Daniel A Rosyid, yaitu harus ada semacam lokalisasi aturan. Karena aturan tunggal yang sentralistik pasti akan gagal dan berpotensi menimbulkan kegaduhan.

UU No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja bertendensi sentralistik. UU ini cenderung melakukan liberalisasi pengelolaan tata ruang laut.

Mantan Dirjen Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, Widi A Pratikto menyoroti penataan ruang pesisir dan laut. Menurutnya, perlu prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu. Dia juga menyoroti sampah laut atau marine debrise yang kian hari menjadi ancaman. Dampaknya pada ekonomi, pariwisata, kerusakan habitat, kerusakan kapal dan navigasi, serta kehidupan lingkungan maritim secara keseluruhan.

Sedang Abu Bakar Sambah mengurai, sulitnya mengukur secara nyata laut dengan isinya bila dibandingkan dengan daratan dengan batas-batas yang jelas, semisal patok, tembok, dan tanda permanen. Apalagi, laut hanya memiliki batas-batas yang bersifat maya. Demikian pula dengan mengukur potensi apa saja yang ada di dalam laut.

Usai tanya jawab dengan pemaparan narasumber yang memberikan semacam advokasi, untuk lebih Flamboyan dalam mensikapi disharmoni secara elegan dan melalui lobi yang komprehensif.

Memang ada sedikit modal dari Rakor yaitu penandatanganan kesepakatan bersama para Kadis atau perwakilannya agar pengelolaan laut dan pesisir sesuai dengan rel aturan yang berlaku.

Tentu muncul pertanyaan normatif, bagaimana bisa berjuang maksimal atau harus berdarah-darah kalau pasal-pasal yang dicantumkan dalam UU bagian dari negoisasi, pesanan dan konstruksi liberisasi.

Jujur, penulis selaku direktur LBH Maritim beberapa kali menangani persoalan hukum terkait nasib nelayan yang sulit mencari nafkah di laut karena tiada areal dan kawasan fishing (mencari ikan) yang bisa memberikan kemanfaatan bagi nelayan sebagai generasi pelaut.

Belum masalah perizinan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan laut yang ternyata tidak berpihak kepada ekosistem laut dan maritim.

Bisa dibayangkan ke depan, ketika Indonesia sebagai negara khatulistiwa dan permadani hijau dunia dengan keanekaragaman marga satwa, termasuk laut didalamnya dikuasai oleh investor, pengusaha dan penguasa yang bermental bajak laut.

Sekali lagi, karena mereka sama sekali tidak merasa sebagai penerus nenek moyang pelaut, sehingga tidak memiliki dan hasrat untuk menyelamatkan laut dan sumber daya alam nya.

Pertanyaan mendasar bagaimana terhadap pengelolaan kelautan di daerah, dengan memahami terdapat empat tipe/rezim kepemilikan SDA, yakni State property regimes, Public property regimes, Private property regimes, Common property regimes (oppen acces).

Disinilah pemegang kebijakan dan kepemilikan atau penguasaan sumber daya ini turut menentukan bagaimana cara pengelolaannya dilakukan, sehingga pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat & Daerah tidak tumpang tindih, memperhatikan juga hak-hak masyarakat adat khususnya hak ulayat laut (sea tenure) yang diakui secara konstitusional dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, terutama dlm pengaturan

pengelolaanya yg saat ini mendapatkan pengaturannya dalam Pasal 29 ayat (5) UU

No.23/2014.

Pada akhirnya, kita harus mampu mengidentifikasi masalah, antara lain, penyelenggaraan pembagian kewenangan Pusat & Daerah dalam Pengelolaan Laut, dinamika kewenangan Daerah yang diberikan predikat sebagai daerah khusus dibandingkan dengan kewenangan daerah- lainnya dalam Pengelolaan Laut.

Tidak kalah penting, pola hubungan dan pembagian kewenangan Pengelolaan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Pengelolaan Laut sehingga ada kepastian pola pembagian kewenangan yang tepat antara Pemerintah Pusat dan Daerah sesuai Nilai Pancasila dan Perjanjian Internasional. Semoga bermanfaat. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *