Oleh: Abdus Syukur*
WARTAWAN adalah profesi terbuka. Tak ada batasan latar belakang pendidikan atau pekerjaan yang diwajibkan bagi mereka yang boleh atau tidak boleh menjadi seorang wartawan. Maka tak heran ada yang hanya tamatan SD, lulus SMP, tamat SMA atau sederajat menjalani pekerjaan sebagai wartawan.
Begitu juga latar belakang pekerjaan, ada yang sebelumnya jadi sopir, kini jadi wartawan, LSM, pekerja serabutan yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) beralih profesi jadi wartawan. Itulah fakta lapangan yang tak terbantahkan.
Menjamurnya orang yang mengaku wartawan itu merupakan dampak dari tumbuh suburnya media. Dibebaskannya orang atau lembaga (tak perlu SIUP) seperti zaman Orde Baru membuka peluang besar bagi siapa saja, baik perorangan atau lembaga untuk membuat media terutama media online. Membuat media tidak butuh biaya besar.
Hanya dengan ratusan ribu rupiah saja orang sudah bisa jadi “bos” media. Bisa menjadi Dirut, Pemred dan Pimpinan Perusahaan di medianya sekaligus. Akibat kemudahan dan longgarnya aturan dalam pembuatan media {bahkan banyak yang tidak abaikan badan hukum} maka sekarang media ada di mana-mana, sampai di pelosok kampung nun jauh di sana, di pinggir gunung bisa kita temukan home base media online.
Nama atau “merk” media-medianya juga terdengar aneh dan unik. Ada media online yang memakai nama kampung nenek moyang pemilik media itu sendiri, media online yang menggunakan nama tokoh tertentu. Ada juga media yang mungkin punya tujuan khusus mencatut nama-nama yang terkesan sangar. Mencatut nama lembaga kepolisian dan lembaga antikorupsi juga dilakukan.
Itu baru nama media. Belum lagi wartawan media online yang bertabur di lapangan. Jumlahnya bejibun. Mereka petenteng ke sana kemari, mendatangi nara sumber atau dinas instansi pemerintah. Biasanya mereka datang secara bergerombol atau berjamaah ke instansi atau lembaga yang menggelar acara seperti jumpa pers.
Tidak hanya itu, belakangan ini ada oknum oknum yang mengaku wartawan “masuk desa dan sekolah”. Mereka punya referensi yang cukup terkait desa yang sejak beberapa tahun terakhir menjadi “kaya’ karena miliran rupiah digelontorkan pemerintah ke desa dan juga sekolah sekolah dengan Dana Alokasi Khusus yang tak kalah fantastis jumlahnya dibanding desa.
Gerombolan oknum yang mengaku ngaku wartawan yang kerap diplesetkan wartawan bodrek atau wartawan CNN {Cuma Nanya Nanya} itu masih terjadi di lapangan dan belum ada satu pun lembaga yang mampu menghentikan operasi gelap mereka kecuali yang dilaporkan lalu ditangkap aparat keamanan karena melakukan pemerasan kepada pejabat bermasalah.
Keberadaan mereka di lapangan kontan menimbulkan pertanyaan masyarakat. Akibat ulah segelintir oknum wartawan itu juga memunculkan kerisauan dari stake holder dan mitra kerja wartawan. Mereka kemudian berharap perusahaan tempat wartawan bernaung dan lembaga profesi wartawan untuk terus melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas atau kompetensi bagi para wartawan, baik online, cetak, eletronik dan televisi agar melakukan kerja kerja jurnallistik sesuai kode etik junalistik dan menjadi wartawan yang profesional.
Wartawan adalah profesi. Layaknya sebuah profesi, maka wartawan juga harus memiliki kompetensi yang standar sesuai jenjang tugasnya di media masing-masing. Begitu urgensinya Kompetensi bagi wartawan, maka “wajib” hukumnya kita merenungkan apa yang dalam beberapa kesempatan ditegaskan oleh Ketua Dewan Pers Prof Bagir Manan, SH, MCL. Apa itu?
“Tolok ukur utama adalah kompetensi. Profesi tanpa kompetensi seperti pepesan kosong. Nyaring tapi tidak membei makna. Wartawan adalah sebuah profesi. Kompetensi menjadi syarat wartawan yang baik dan benar.’’ (Pedoman Uji Komptensi Wartawan LPDS, Red).
Diakui atau tidak, pernyataan Mantan Ketua MA itu agaknya belum banyak didengar dan dibaca oleh sebagian pengelola media. Mereka merekrut lalu menerjunkan wartawan dalam keadaan otak kosong. Tidak paham dengan apa itu wartawan, kompetensi, apa saja yang dibutuhkan wartawan dalam menjalakan profesinya di lapangan. Atau patut diduga juga pemilik atau pengelola media tertentu tidak paham dengan dunia kewartawanan karena yang punya media misalnya tidak berlatar belakang wartawan.
Misalnya dia pengusaha minyak atau pengusaha batu bara tajir yang ingin mengembangkan usahanya lalu membangun media. Pemilik media itu lalu menjadikan medianya sebagai alat politik dan bisnisnya. Lalu seenaknya melakukan intervensi kepada news room agar pemberitaan disesuaikan dengan selera dan kepentingan bisnisnya? Apakah Anda mengalaminya?
Kembali kepada standar kompetensi wartawan yang masih saja menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat yang menjadi pemangku kepentingan dan di kalangan pers sendiri. Bagaimana kemudian pers atau wartawan mendapat kompetensi itu? Apa saja kompetensi yang dibuuthkan wartawan dalam menjalankan kerja kerja jurnalistiknya?
Dalam Buku Uji Pedoman Kompetensi Wartawan terbitan LPDS disebutkan kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsep berita, penyusun dan penyuntingan berita, serta bahasa. Dalam hal ini yang terakhir ini juga menyangkut kemahiran melalukannya, seperti juga kemampuan yang bersifat teknis sebagai wartawan profesional, yaitu mencari memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, serta membuat dan menyiarkan berita.
Untuk mencapai standar kompetensi, seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga yang telah diverifikasi Dewan Pers, yaitu perusahaan Pers, Organisasi Wartawan, Perguruan tinggi atau lembaga pendidikan jurnalistik. Wartawan yang belum mengikuti uji komptensi dinilai belum memiliki kompetensi secara standar.
Standar adalah patolakan baku yang menjadi pegangan ukuran dan dasar. Standar juga berarti model bagi karakter unggulan. Komponen adalah kemampuan tertentu yang menggambarkan tingkatan khusus menyangkut kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.
Wartawan adalah orang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnlistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran lainnya.
Komptensi wartawan adalah kemampuan wartawan untuk memahami, menguasai, dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan serta kewenangan untuk menentukan (memutuskan) sesuatu di bidang kewartawanan. Hal ini menyangkut kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.
Standar Kompetensi wartawan adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan/keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan.
Sementara tujuan Standar Kompetensi
Wartawan di antaranya, meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan, menjadi acuan sistem evaluasi kineja wartawan oleh perusahaan pers, menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik, menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual, menghidarkan penyalahgunaan profesi wartawan dan menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.
Sedangkan model dan kategori kompetensi dalam rumusan kompetensi wartawan digunakan model dan kategori kompetensi yaitu: kesadaran (awareness) mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. Pengetahuan (knowledge) mencakup teori dan perinsip jurnlalistik, pengrtahuan umum dan pengetahuan khusus.
Keterampilan (skill) mencakup kegiatan 6 M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi), serta melakukan riset/investigasi, analisis/prediksi, serta menggunakan alat teknologi informasi. Kompetensi wartawan yang dirumuskan ini merupakan hal hal mendasar yang harus dipahami, dimiliki, dan dikuasai oleh seorang wartawan.
Setelah mengetahui tentang standar kompetensi, maka penting juga kita memahami elemen kompetensinya. Elemen komptensi adalah bagian kecil unit kompetensi yang mengidentifikasi aktivitas yang harus dikerjakan untuk mencapai unit kompetensi tersebut. Kandungan elemen kompetensi pada setiap unit kompetensi mencerminkan unsur pencarian, perolehan, pemilikan, penyimpanan, pengolahan, dan penyampaian. Elemen kompetensi wartawan terdiri atas, pertama, kompetensi umum, yakni kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh semua orang yang bekerja sebagai wartawan.
Kedua, kompetensi inti, yakni kompetensi wartawan dalam melaksanakan tugas tugas umum jurnlistik.
Ketiga, kompetensi khusus, yakni kompetensi yang dibutuhkan wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas khusus jurnsalistik.
Kualifikasi kompetensi wartawan adalah kualifikasi kerja wartawan dalam kerangka kualifikasi nasional dikategorikan dalam kualifikasi, kualifikasi satu untuk sertifikat wartawan muda, kualifikasi kedua untuk sertifikat wartawan madya, dan kualifikasi ketiga untuk sertifikat wartawan utama. Dengan jenjang kompetensi wartawan, wartawan muda, jenjang kompetensi wartawan madya dan wartawan utama.
Mecermati begitu urgensi dan pentingnya kompetensi wartawan, maka sudah saatnya semua pihak, baik itu pengelola media, pemilik perusahaan media, lebih-lebih organisasi profesi untuk memprioritaskan peningkatan kapasitas wartawan, dan salah satu wadahnya adalah uji kompetensi wartawan yang berkerjasama dengan semua pihak terkait termasuk dewan Pers.
Profesionalitas tidaknya wartawan juga membutuhkan keterlibatan semua pihak termasuk masyarakat sebagai pemangku kepentingan dan lembaga pemerintah yang menjadi mitra dan relasi pers yang berani mengatakan tidak kepada wartawan yang belum kompeten. Bukan hanya wartawan, pengelola media juga harus paham tentang dunia jurnalistik terutama kode etiknya.
* Ketua SMSI Provinsi NTB