Kajian Ekonomi Moneter Syariah sebagai Tela’ah Kritis Rencana Pembangunan Kampung Haji Indonesia di Makkah

Djaka Suryadi. (Foto: dokumen pribadi)

Oleh: Djaka Suryadi,PhD, Bankir Syariah*

 

RENCANA pembangunan Kampung Haji Indonesia (KHI) di Arab Saudi, sebagai investasi infrastruktur untuk menjamin akomodasi jemaah haji, adalah langkah strategis.

Proyek ini perlu dikaji secara mendalam dari kacamata Ekonomi Moneter Syariah (EMS). Proyek ini melibatkan perizinan, pembiayaan, kepemilikan aset, dan pengelolaan dana publik, yang semuanya harus sesuai dengan prinsip-prinsip maqashid syariah (tujuan syariah) dan menghindari elemen gharar (ketidakjelasan) serta riba (bunga).

1. Prinsip Maqashid Syariah dan Kemaslahatan (Maslahah)
Investasi pada Kampung Haji Indonesia secara fundamental sejalan dengan tujuan utama syariah (Maqashid Syariah), khususnya dalam menjaga agama (hifz ad-din) dengan mempermudah pelaksanaan ibadah haji, dan menjaga jiwa (hifz an-nafs) dengan menyediakan tempat tinggal yang layak, aman, dan nyaman.

Menurut pandangan para Masyaikh Al-Azhar dan ulama kontemporer, segala bentuk investasi yang secara langsung meningkatkan kualitas ibadah dan kesejahteraan umat—seperti penyediaan akomodasi haji—dikategorikan sebagai Maslahah Mursalah (kemaslahatan yang tidak secara eksplisit diatur, namun sejalan dengan semangat syariah).

Investasi ini dipandang lebih utama ketimbang membiarkan dana jemaah mengendap dalam bentuk tunai atau instrumen konvensional yang berpotensi riba.

2. Sumber Pendanaan dan Instrumen Moneter Syariah perspektif Ekonomi Moneter Syariah (EMS). menekankan bahwa pendanaan proyek ini harus bebas dari riba.

Dalam konteks moneter syariah, ada beberapa skema ideal:
Pemanfaatan Dana Abadi Umat (DAU) atau Dana Kelolaan Haji: Dana ini dapat diinvestasikan dalam proyek infrastruktur haji melalui instrumen Syariah, seperti Sukuk (Obligasi Syariah). Pemerintah Indonesia dapat menerbitkan Sukuk Ijarah (berbasis sewa) atau Sukuk Musyarakah/Mudharabah (berbasis bagi hasil) yang hasilnya digunakan untuk membiayai proyek.

Pandangan Akademisi: Para ahli moneter dari institusi seperti MIT, Berkeley, dan Harvard, yang telah mempelajari keuangan Islam, melihat Sukuk sebagai instrumen yang ideal untuk membiayai proyek infrastruktur jangka panjang, karena ia mengaitkan nilai moneter dengan aset riil (asset-backed atau asset-based), sehingga lebih stabil dan transparan dibandingkan utang konvensional.

Prof. Robert Merton (MIT) dan Prof. Oliver Hart (Harvard) misalnya, dalam studi mereka tentang inovasi keuangan, secara umum mengakui pentingnya instrumen yang berbasis aset nyata untuk stabilitas sistem keuangan.

Skema Istishna’ (Kontrak Pesanan): Ideal untuk pembangunan properti, di mana investor (Pemerintah/BPKH) membayar secara bertahap kepada kontraktor untuk pembangunan properti spesifik, yang akan menjadi aset riil. Ini adalah salah satu bentuk pembiayaan yang dianjurkan dalam Ekonomi Moneter Syariah (EMS).

3. Argumentasi Dalil Al-Qur’an dan Sunnah
Dukungan terhadap investasi yang bertujuan untuk mempermudah ibadah dan memberikan manfaat bagi umat memiliki landasan kuat dalam syariat:
a. Dalil Al-Qur’an tentang Investasi dan Kerjasama Kebaikan:
Allah SWT berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Mā’idah: 2)

Investasi KHI adalah perwujudan langsung dari tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa (Ta’awun) antara dua negara untuk kepentingan jemaah haji.

Pembangunan akomodasi haji yang layak adalah perbuatan baik (ihsan) yang merupakan bentuk optimalisasi pelayanan kepada dhuyufurrahman (tamu-tamu Allah).
Allah SWT juga berfirman:

“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri, dan berbuat baiklah (ihsan), karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Berbuat baik (Ihsan) mencakup penyediaan fasilitas terbaik bagi tamu-tamu Allah.

Perizinan Pemerintah Saudi Arabia untuk proyek ini adalah bentuk kerjasama (ta’awun) antara dua negara dalam kebaikan dan takwa, yang secara moneter akan menciptakan multiplier effect bagi perekonomian kedua negara tanpa melanggar prinsip syariah.
b. Dalil Sunnah tentang Waqf dan Keberlangsungan Manfaat:
Meskipun Kampung Haji Indonesia tidak harus berbentuk waqf (wakaf), semangatnya sejalan dengan prinsip waqf—yaitu investasi yang memberikan manfaat berkelanjutan.

Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (Hadis Riwayat Muslim No. 1631)

Aset KHI memberikan return sosial-spiritual yang berkelanjutan, menjadikannya setara dengan sedekah jariyah bagi dana haji.

Investasi pada infrastruktur haji dapat dikategorikan sebagai sedekah jariyah atau amal yang manfaatnya terus mengalir, karena ia menjamin kesejahteraan jemaah haji dari tahun ke tahun. Secara Ekonomi Moneter Syariah (EMS), aset ini tidak sekadar menghasilkan return finansial, tetapi juga return sosial dan spiritual.

4. Transparansi dan Mitigasi Risiko (Gharar)

Dalam Ekonomi Moneter Syariah (EMS), segala transaksi harus terhindar dari gharar (ketidakjelasan). Proyek sebesar ini menuntut transparansi tinggi dalam:
Perizinan dan Kepemilikan Lahan: Izin Pemerintah Saudi Arabia harus sangat jelas mengenai status kepemilikan aset, durasi hak guna, dan regulasi operasinya.

Pengelolaan Keuangan: Penggunaan dana haji harus diaudit secara independen dan transparan, memastikan bahwa imbal hasil yang didapatkan sesuai dengan skema Syariah yang disepakati (misalnya nisbah bagi hasil dalam Mudharabah).

Para pakar moneter dari Berkeley menekankan pentingnya governance dan risk management yang kuat dalam proyek infrastruktur publik. Dalam konteks syariah, ini diterjemahkan menjadi keharusan untuk memastikan akad (kontrak) yang jelas, pembagian risiko yang adil, dan ketiadaan unsur spekulasi yang berlebihan (maisir).

Kesimpulan
Rencana pembangunan Kampung Haji Indonesia adalah investasi strategis yang memiliki justifikasi kuat dari perspektif Ekonomi Moneter Syariah. Proyek ini:
Mencapai Maqashid Syariah dengan mempermudah dan meningkatkan kualitas ibadah haji.

Dapat dibiayai secara syar’i melalui instrumen moneter seperti Sukuk Ijarah/Mudharabah atau skema Istishna’, menghindari riba dan mengaitkan dana dengan aset riil.
Memiliki dukungan dalil Al-Qur’an dan Sunnah sebagai bentuk ta’awun (tolong-menolong dalam kebaikan) dan sedekah jariyah.
Dengan implementasi yang transparan dan governance yang kuat, proyek ini tidak hanya akan memberikan manfaat ekonomi-moneter (pengembalian investasi dan stabilitas nilai dana haji) tetapi juga manfaat spiritual dan kemaslahatan yang berkelanjutan bagi jemaah haji Indonesia.

Proyek ini adalah contoh nyata bagaimana dana umat dapat dioptimalkan melalui sistem moneter syariah untuk kepentingan umat.

++

* Tentang Penulis:

Djaka Suryadi, PhD, pemerhati hukum dan keuangan syariah. Meraih gelar Doktor di bidang Keuangan Islam dari salah satu universitas di Malaysia.

Di Indonesia, ia menjadi bankir syariah dan pernah bekerja  di sebuah bank swasta selama 28 tahun, serta menjadi dosen hukum Islam dan keuangan Islam selama 18 tahun di berbagai universitas.

Komunikasi dengan penulis bisa melalui email: [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *